Kamis, 24 Februari 2011

The Edge; Kembali Menjadi Subjek (bagian 3)


           
Kekuatan objek, ternyata berkembang dari kelemahan dirinya. Unsur kelemahan itu meliputi sifat inferior, diobjektifikasi, dan eksistensi kosong. Ketiga hal tersebut tidaklah menjadi hal yang buruk. Tapi justru dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang ideal. Telah dibahas dalam The Edge bagian I, kebanyakan filosof mengidealkan sesuatu yang baik. Sedangkan negativitas dianggap hal yang tidak mendatangkan kebaikan.
Walaupun begitu, ada beberapa perumus teori yang juga mengidealkan sesuatu yang sebenarnya tidak ideal. Contohnya quote sivis pacem para bellum yang terdapat dalam ilmu hubungan internasional, jika ingin berdamai harus siap berperang. Hemat kata, ada utopia tentang perdamaian, tapi hal tersebut meniscayakan peperangan. Hal serupa dibahas penulis dalam The Edge bagian III ini. Pada tulisan ini, mari kita idealkan sesuatu yang jarang diidealkan seseorang. Mengidealkan negativitas!
                Namun, sangat penting untuk ditekankan, mengidealkan negativitas bukan mengarah pada hal yang merugikan orang lain. Pada konteks ini, penulis menentang bentuk negativitas yang merugikan dan mengorbankan hak orang lain. Sebelum membangun asumsinya, penulis sepakat dengan John Rawls dalam teori Keadilannya. Hal itu dijelaskan Rawls pada magnum opusnya Teori-teori Keadilan. John Rawls mencoba untuk membangun teori keadilan dengan mengkritik penganut utilitarianisme.
Menurutnya, paham utilitarianisme terlalu mengedepankan aspek manfaat dibandingkan hak. Sementara, Rawls lebih menekankan pada aspek hak. Sehingga tak peduli seberapa besar manfaatnya bagi sebagian orang, hal itu takkan adil jika hak sebagian orang yang lain lagi dikorbankan. Sedangkan jika seluruh hak setiap orang telah dipenuhi, paling tidak, terdapat standar pemenuhan hak yang dinikmati manfaatnya bagi semua orang. Sehingga, perlu sekali lagi ditekankan, penulis menentang bentuk negativitas yang mengorbankan hak orang lain demi kepentingan dirinya.
                Jika pada The Edge bagian I dan II, penulis membahas mengenai objek, maka dalam tulisan ini, penulis kembali memperdalam pembahasan mengenai kekuatan berada pada titik tersebut. Asumsi pertama, bentuk inferioritas dalam diri objek akan mengembalikan dirinya sebagai subjek. Sedangkan sifat dirinya yang menjadi objek, pun telah menjadi objek yang diperhitungkan karena subjek lain membutuhkan setiap objek dalam tindakannya yang berpredikat. Hal itu akan menumbuhkan eksistensi objek. Hal lain, kekosongan dalam diri objek justru menunjukkan eksistensi dirinya yang berbeda dari eksistensi lainnya, yaitu subjek lain. Subjek ada karena ada objek. Hal yang disebutkan di atas, mengarah pada sebuah eksistensi superioritas objek. Eksistensi tersebut akan menghasilkan kesadaran. Ya! Hal yang perlu digarisbawahi, KESADARAN.
                Mengutip ide Marx tentang kesadaran kelas, dan mengutip dari salah satu film tentang apartheid di Afrika Selatan tentang kesadaran kulit hitam, menunjukkan kesadaran adalah hal yang penting. Selain itu, juga mengutip Sudarminta dalam buku Epistemologi, kesadaran juga menjadi bagian dari bagaimana seorang individu bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Sehingga, posisi individu yang dijadikan objek, akan menumbuhkan kesadaran tentang dirinya. Paling tidak, mempertanyakan pertanyaan klasik dalam dunia filsafat yang pernah diajukan dalam novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Siapa aku?
                Mempertanyakan posisi diri mengajak kita pada asumsi kedua, berpikir. Berpikir mengajak diri kita untuk tidak diam. Berpikir mengarahkan setiap individu untuk dapat mempertimbangkan posisi dirinya. Ketika individu menyadari dirinya sebagai objek, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang seharusnya. Pertanyaan tentang apa yang seharusnya akan dibenturkan dengan apa yang terjadi. Dari apa yang terlihat dari sesuatu yang telah terjadi, akan timbul keinginan akibat eksistensi diri untuk mengubah keadaan.
                Melalui upaya untuk mengubah keadaan, kita sampai pada asumsi ketiga, kreativitas. Seseorang yang berpikir, akan memunculkan persepsi-persepsi yang kreatif secara rasional dan empiris. Sehingga untuk mengubah keadaan, individu akan dituntut untuk memiliki daya kreatif membaca keadaan terhadap sesuatu yang diinginkan. Dari ketiga hal tersebut, muncul asumsi keempat, produktivitas. Individu yang kreatif membaca keadaan, akan mendesak dirinya untuk mengubah keadaan sesuai dengan kepentingannya. Itu berarti individu tersebut akan secara produktif membentuk sistem-sistem baru untuk menciptakan objek lain di luar dirinya. Diri seorang individu kembali pada dirinya sebagai subjek yang berhadapan dengan subjek.
                Keempat asumsi tersebut, mencoba untuk menjadikan sesuatu yang negatif tidak dipasrahkan begitu saja. Tapi justru mempertanyakan sejauh mana seorang subjek sebagai individu berani mempertaruhkan dirinya hingga ke titik terendah? Sehingga melalui titik terendah tersebut, individu justru bisa bangkit dan menguji seberapa ketangguhan dirinya terhadap bahaya.
                Anthony Giddens dalam buku Runaway World mengatakan bahwa manusia sebenarnya menyukai risiko yang tinggi. Hal itu terlihat dari teknologi yang digunakan untuk memudahkan, sebenarnya memiliki risiko yang sangat tinggi. Misalnya ketergantungan pada komputer akan menyebabkan manusia bahkan dunia rugi miliaran dolar jika alat tersebut mendadak mati. Kita, subjek-subjek yang mengaku telah menjadi subjek, telah terobjektivikasi oleh objek buatan kita sendiri. Tapi hal perlu dipertanyakan lagi (karena pertanyaan tidak akan pernah selesai), sejauh mana kita bangkit dan menguji diri hingga mengembalikan hakiki diri kita sebagai subjek?!
                Contoh lain, seseorang yang memanjat tebing, naik gunung, bermain rollercoaster, mereka menginginkan risiko yang tinggi. Hal itu sama terjadi dengan posisi The Edge, sejauh mana individu menempatkan dirinya berada dalam pusaran The Edge? Menjadi objek yang mampu mengembalikan dirinya untuk menjadi subjek. 

gambar : google

Selasa, 15 Februari 2011

The Edge; Eksistensi Superioritas Objek (bagian 2)

              
             John Rawls membahas tentang teori keadilan, sedangkan Kant membahas perdamaian. Masih banyak lagi filosof yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang ideal. Hal yang ingin dicapai semua orang. Keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan menjadi topik sentral dan puncak tertinggi keinginan individu. Tapi bukankah untuk mencapai utopia tertinggi itu harus ditelaah penyebab yang menafikkannya? Budi Hardiman dalam buku 'Memahami Negativitas' mencoba untuk mengupasnya.

          Tapi, pada kali ini, tulisan tidak akan menelaah apa yang menjadi pisau analisis Budi Hardiman. Walaupun objek kajiannya sama, tentang negativitas, penulis akan mencoba untuk secara mandiri membangun kerangka pikirannya dari asumsi yang dibangun pada tulisan sebelumnya. The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1) sebenarnya belum menjawab pertanyaan yang diajukan pada awal tulisan. Tapi, penulis ingin memberikan dasar bahwa posisi the edge menjadi topik yang layak untuk dibahas.

          Posisi the edge tak jauh berbeda dengan posisi insecure. Lalu apakah yang membedakan kedua hal tersebut? Apakah dalam posisi the edge seorang individu juga sekaligus berada dalam posisi insecure? Atau apakah setiap individu yang berada pada posisi insecure menandakan dirinya berada pada posisi the edge?

Sebelum lebih jauh mengupas hal tersebut, telah dipertanyakan kenapa inferioritas, objek, dan kosong menjadi menarik dibahas? Berikut ini beberapa argumentasinya. Inferioritas menunjukkan individu yang bersangkutan dalam keadaan lemah. Dalam hal itu, individu hanya memiliki dua pilihan. Pertama, individu tersebut mati karena superioritas subjek lain. Subjek yang mengobjektivikasi objek akan melakukan tindakan yang sesuai dengan kuasa dan kepentingannya. Objek yang menerima kelemahannya akan patuh pada sistem buatan subjek. Jika objek tersebut tidak dapat melakukan perlawanan, bisa dikatakan kemungkinan besar dirinya akan mati dengan mudah. Kedua, individu tersebut tidak mati, tapi masuk ke dalam sistem buatan subjek dan mampu bertahan tanpa perlawanan. Kemampuan bertahan dengan status sebagai objek memang mematikan diri objek tersebut. Sehingga, subjek yang dijadikan objek, tidak bisa mengembangkan dirinya sebagai subjek yang sebenarnya. Kemampuan dasarnya sebagai subjek dimatikan. Dibunuh.
                Namun, ada sisi lain yang menarik dari bagaimana menjadi objek. Individu yang telah masuk ke dalam sistem yang dibuat subjek akan dapat memahami bagaimana kinerja sistem itu. Ketika metode kerja sistem tersebut dapat dipahami, secara langsung pula objek dari sistem tersebut akan memahami kelebihan dan kekurangan darinya. Sehingga, individu yang telah menjadi objek secara otomatis juga menjadi subjek dari sistem yang telah dibuat oleh subjek pertama. Atau sistem buatan subjek pertama, telah menjadi objek bagi subjek yang kedua.
Contohnya, dalam sistem antarnegara, kolonial adalah subjek pertama, rakyat adalah subjek kedua. Kolonialisme menunjukkan semangat superioritas subjek pertama terhadap subjek kedua. Sehingga, dibuatlah sistem yang mengobjektivikasi subjek kedua. Rakyat harus patuh pada segala aturan sistem kolonial. Ketika aturan tersebut dibentuk, subjek kedua harus menjalankan. Namun sebelum dijalankan, aturan tersebut harus dipahami. Sehingga, sistem yang dibuat subjek pertama, secara otomatis menjadi objek bagi subjek kedua. Sistem tersebut dijalankan karena inferioritas subjek kedua. Dengan pemahaman subjek kedua terhadap sistem tersebut, dapat ditemukan kelebihan dan kekurangan dari kolonial dalam menjadikan rakyat sebagai objek. Dengan sendirinya, subjek kedua akan mulai mencari celah, dan berpeluang untuk menempatkan dirinya kembali sebagai subjek. Interaksi intersubjektif. Sehingga hubungan yang ada bukan lagi subjek objek. Tapi subjek yang berhadapan dengan subjek. Objek itu telah kembali hidup.
Poin kedua, menjadi objek. Apakah semua objek inferior? Tidak! Posisi subjek dan objek dapat selalu saling ditukar. Ketika subjek mengobjektivikasi objek, hal itu tidak selalu berarti objek inferior. Melainkan menunjukkan superioritas objek. Letak superioritas terletak dari subjek yang membutuhkan objek setelah kata kerja. Misalnya, Ayah memetik jambu. Kata-kata ayah memetik, akan rancu jika tidak ada objek jambu. Hampir semua predikat membutuhkan objek. Ketika subjek membutuhkan objek, itu jelas menunjukkan adanya eksistensi objek yang sebenarnya. Objek tetaplah objek. Tapi objek itu tidak lalu dikatakan inferior karena posisinya sebagai objek. Dengan kata lain, eksistensi objek diperhitungkan.
Jika mengacu pada contoh kolonialisme, rakyat yang dijajah tidak serta merta dengan mudah dimatikan. Tapi colonial perlu terlebih dahulu mempelajari ilmu geografi, geopolitik, atauapun antropologi untuk dapat menaklukkan objek. Kolonialisme juga terjadi bukan semata karena objek tersebut lemah, tapi justru karena memiliki sesuatu yang tidak dimiliki subjek.
Poin ketiga, kosong. Sebenarnya kosong hanya simbol dari posisi the edge. Kenapa disimbolkan dengan kosong? Kosong menunjukkan adanya nihilisme. Tidak ada apa-apa. Tapi apakah benar kosong berarti tidak ada apa-apa? Ruangan kosong, akankah benar-benar kosong? Kosong. 0. Nol. Menunjukkan jumlah angka bilangan. Kosong tidak berbilangan. Tidak positif maupun negatif. Bisa dikatakan angka nol tidak memihak. Netral. Selalu berdiri dengan dirinya yang tidak ke kiri atau ke kanan. Karena itu dia kosong. Tidak berarti apa-apa. Tapi bukankah tidak berarti apa-apa juga adalah sebuah eksistensi? Kosong. Nol. Menunjukkan dirinyalah eksistensi yang tidak memiliki kemiripan dengan eksistensi lainnya. Positif 2 dan negatif 2 memang berbeda, tapi bukankah juga memiliki kesamaan? Angka 2 itu. Sedangkan nol, hanya ada nol. Itulah eksistensi nol. Eksistensi yang apa adanya. Lalu kenapa the edge diidentikkan dengan nol? Kosong? Karena objek dan inferioritas juga berarti tidak ada apa-apa. Dan semua subjek tidak ingin eksistensinya tidak diakui. Subjek selalu ingin bereksistensi dengan caranya masing-masing.
gambar : google

Sabtu, 05 Februari 2011

The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1)


Apa yang akan dilakukan setiap individu ketika berada di tepian jurang? 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada setting Perang Dunia I dan II tahun 1939-1945. Dalam mengamati Perang, pendekatan hubungan internasional  menggunakan teori realisme untuk menganalisisnya. Teori Realisme mengajukan gagasan Security Dilemma antar negara. Security pada konteks perang mengacu pada keamanan dan pertahanan negara terhadap negara lain. Sedangkan dilemma yang dimaksudkan terkait dengan kekuatan negara sebagai aktor hubungan internasional. Kekuatan atau power yang dimaksud adalah kekuatan militer dan angkatan bersenjatanya. Sehingga jika power suatu negara mengalahkan negara lain, negara itu berada pada posisi secure. Lain halnya jika power negara itu lemah, maka ia berada pada posisi insecure.
Asumsi realisme akan menjawab pertanyaan di atas jika tingkat analisisnya diturunkan dari level negara ke individu. Individu yang memiliki power akan berada pada wilayah yang secure atau aman. Sedangkan jika tidak memiliki power, ia akan berada dalam posisi insecure. Posisi insecure tersebut sama analoginya dengan seorang individu yang berada pada posisi the edge. Tulisan ini akan difokuskan pada posisi the edge tersebut. Ada beberapa argumentasi kenapa posisi the edge atau insecure menarik untuk dibahas.
Pertama, posisi insecure adalah posisi yang tidak ideal. Pada posisi itu, tingkat individu maupun negara akan selalu merasa terancam oleh power pihak lain. Hal itu dikarenakan posisi insecure menunjukkan gambaran individu yang lemah karena tidak memiliki power. Singkatnya insecure mengindikasikan pada pribadi yang inferior.
Kedua, ketika individu memiliki pribadi yang inferior, ia akan dijadikan objek bagi individu lain. Dalam hal ini, interaksi antar individu sebagai subjek, seharusnya bersifat intersubjektif. Tapi dalam posisi inferior, sifat intersubjektif digantikan dengan hubungan subjek yang superior, yang mengobjektivitikasi objek yang inferior.
Ketiga, mayoritas filosof maupun individu hampir selalu membahas tentang sesuatu yang ideal. Tentang bagaimana 'ada' posisi yang secure. Posisi secure tersebut mengandung power, superioritas, dan kuasa subjek. Sehingga, secure menjadi hal yang ideal untuk selalu dibahas dan dicapai. Sementara itu, posisi insecure adalah keadaan individu yang berada pada posisi the edge. Posisi the edge menggambarkan individu yang berada pada titik terendah dalam hidup. Kembali ke titik nol. 0. Kosong.
Dari ketiga argumen di atas, akan timbul beberapa pertanyaan. Kenapa kondisi yang tidak ideal dengan unsur inferioritas, objek, dan kosong menjadi menarik? Apa yang akan dilakukan setiap individu ketika berada pada posisi the edge? Kita kembali pada pertanyaan awal. 
(gambar : google)

Jumat, 04 Februari 2011

SUBJEKTIVITAS WAKTU

Struktur bahasa selalu menempatkan waktu sebagai keterangan. Keterangan tentu saja menempatkan diri tidak sebagai subjek, objek, dan predikat. Itu berarti keterangan tidaklah terlalu penting jika sudah ada 3 elemen yang menyusun sebuah kalimat. Bahkan jika mengikuti kaidah bahasa yang baik, keterangan waktu dan tempat jarang ditempatkan di awal kalimat. Dalam hal ini, waktu termarjinalkan oleh struktur bahasa. Namun, dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (SDD), waktu menempati posisi sebagai subjek. Ia disejajarkan dengan eksistensi subjek yang sebelumnya telah ada.
Kumpulan puisi SDD berjudul Arloji. Arloji merupakan penunjuk waktu. Di sini waktu memainkan peran sebagai subjek yang hidup. Subjek yang menggerakkan subjek lainnya. Di sini waktu mencoba untuk bereksistensi. Waktu bukanlah hal yang lagi termarjinalkan dalam struktur bahasa. Waktu menempatkan diri sebagai subjek.
Marsinah buruh pabrik arloji,
Mengurus presisi:
Merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
Ia sangat cermat dan pasti.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Dalam puisi di atas, SDD mencoba untuk menampilkan waktu hampir sejajar dengan Marsinah. Pada awal sajak, SDD memang patuh pada pola struktur bahasa, menempatkan Marsinah sebagai subjek. Ia menjelaskan bahwa Marsinah adalah seorang buruh pabrik arloji. Lalu ia melanjutkan dengan menempatkan kata 'Mengurus' sebagai predikat. Sedangkan 'Presisi' sebagai objek. Tapi dua kalimat terakhir, SDD memunculkan eksistensi waktu. SDD seakan mengatakan bahwa waktu terus bergerak sebagai subjek, sedangkan Marsinah tenggelam sebagai objek dari waktu.
Pada sajak-sajak lanjutannya, SDD menuliskan :
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

                Dalam sajak itu jelas bahwa SDD telah memutlakkan waktu yang semakin dinamis. Waktu tetap berjalan. Sementara Marsinah berhenti dan mati. Tidak ada lagi subjek yang berpredikat objek. Karena subjek telah mati. Ketika subjek mati, muncullah subjek lain yang tidak pernah mati. Waktu. Namun, waktu terus bergulat dengan subjek yang menjadi lawannya sejak awal. Subjek yang memang seharusnya berperan sebagai subjek. Marsinah. Ketika Marsinah mati dan menjadi objek, ia sekaligus bangkit kembali menjadi subjek. Menggantikan subjektivitas waktu yang membunuhnya. Lagi-lagi, waktu dan Marsinah saling membunuh untuk eksistensinya sebagai subjek. Karena ketika subjek itu mati dan berperan sebagai objek, justru subjektivita dirinya semakin menguat.
                Marsinah bukanlah siapa-siapa ketika hanya menjadi buruh pabrik arloji. Ia hanya menjadi objek dari subjektivitas waktu. Tapi ketika ia mati, subjektivitas Marsinah menguat mengalahkan subjektivitas waktu.

Marsinah itu arloji sejati,
Melingkar di pergelangan
Tangan kita ini;
Dirabanya denyut nadi kita,
Dan diingatkannya
Agar belajar memahami
Hakikat presisi
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Persepsi tentang Marsinah sebagai objek hanya hilang sebentar. Setelah itu, walaupun secara material Marsinah telah mati dan tidak ada sebagai subjek, subjektivitasnya muncul dalam pikiran-pikiran orang. Subjektivitas Marsinah seakan dihadirkan kembali melalui puisi SDD. Marsinar tidak benar-benar mati. Kehadirannya masih kita rasakan lewat puisi SDD. Eksistensinya sebagai subjek kembali menguat. Eksistensi Marsinar sebagai subjek pun akhirnya telah berhasil membunuh subjektivitas waktu. Waktu mati, dan kembali menempati posisinya sebagai keterangan. Baik dalam struktur bahasa maupun eksistensinya.

Minggu, 03 Januari 2010

Semesta Alam Membantumu Meraihnya!











Oleh : Khalisotussurur

Judul : The Alchemist

Penulis : Paulo Coelho

Penerjemah : Tanti Lesmana

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 8, Mei 2009

Halaman : 216; 20 cm

“Yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan...”

Hal itu yang dipikirkan Santiago, seorang anak laki-laki penggembala di Andalusia. Hasratnya berkelana, telah melawan keinginan ayahnya yang mengharapkan dirinya menjadi pastor. Namun, keingintahuannya tentang dunia lebih menarik perhatiannya daripada mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia (hlm 14).

Novel The Alchemist, justru tidak bercerita mengenai kehidupan seorang Alkemis atau Ahli Kimia yang berproses. Tapi menceritakan kehidupan seorang penggembala domba bersama takdirnya sendiri. Berbekal jaket, buku, dan anggur, ia menjamah padang-padang rumput se-Andalusia. Ia sering bercerita tentang buku-buku yang dibaca dan berkomentar tentang apa yang dilihat pada domba-dombanya. Ia yakin domba-domba itu mengerti perkataannya. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi tentang seorang anak kecil yang memegang tangannya dan memindahkannya ke Piramida di Mesir. Lalu anak itu berkata Santiago akan menemukan harta karunnya di sana. Mimpi itu datang berturut-turut selama dua kali.

Dalam perjalanannya menemukan harta karun, ia mengalami banyak kejadian. Berawal dari kedatangannya ke tempat Peramal Gipsi untuk menafsirkan mimpinya. Peramal tersebut meminta sepersepuluh hartanya jika berhasil ditemukan. Berlanjut pada pertemuannya dengan seorang Raja Salem, Malkisedek. Raja tersebut mengajarkan pada anak itu untuk pandai-pandai membaca pertanda. Karena raja itu meyakini ketika seseorang menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu meraihnya. Lalu raja itu meminta sepersepuluh dombanya. Banyak hal yang menarik antara percakapan antara anak laki-laki dan raja Salem.

Pertemuannya dengan raja itu meyakinkannya untuk terus mengejar impiannya. Ia pun pergi ke Afrika sebagai persinggahan menuju Mesir. Bermodal uang hasil penjualan domba dan batu urim dan tumim pemberian Raja Salem. Walaupun ia telah menjamah Andalusia, Afrika belum bersahabat bagi orang asing sepertinya. Anak itu kecopetan. Dan akhirnya ia bekerja pada seorang pemilik toko kristal yang sepi pelanggan.

Setelah kedatangannya, kepintarannya membaca pertanda membuat toko kristal itu berkembang. Di sela perbicangannya, ternyata pemilik toko kristal itu juga memiliki impian yang sama untuk pergi ke suatu tempat. Pemilik toko kristal itu ingin pergi ke Mekah untuk beribadah. Hanya saja dengan kesuksesan yang didapatnya, ia memilih untuk tetap tinggal di Afrika. Yang menahannya bukan karena harta. Tapi ia sengaja membiarkan impiannya tak diraih, untuk menjadi alasannya baginya untuk terus bertahan hidup.

Sementara, anak laki-laki itu mengambil keputusan untuk ke Mesir. Karena kapan pun ia dapat kembali ke Andalusia dan menjadi gembala. Tapi ketika keputusannya diambil, ia seperti masuk ke dalam arus sungai yang deras. Tak tahu apa yang akan terjadi di depannya. Untuk tiba di Mesir, ia harus melewati padang Sahara yang luas. Apalagi perang antar suku juga sedang bergejolak di Mesir.

Dalam perjalanan menyusuri padang Sahara, anak laki-laki itu berkenalan dengan seorang Inggris. Orang Inggris itu ingin bertemu dengan sang Alkemis yang tahu cara mengubah semua jenis logam menjadi emas. Emas itu disebut batu filsuf dan ramuannya disebut ramuan kehidupan. Mereka juga banyak bercakap mengenai pertanda dan bahasa universal.

Ketika mereka tiba di oasis Al-Fayoum, anak laki-laki itu menanyakan keberadaan Sang Alkemis pada seorang gadis, Fatima. Dari situlah tumbuh cinta antara mereka berdua. Ketika itu pula, anak laki-laki itu kehilangan hasrat untuk berkelana. Ia ingin menetap di satu tempat bersama gadis gurun itu. Namun Fatima menyadari, setiap laki-laki pasti mempunyai impian yang ingin dicapainya. Ia pun merelakan kepergian anak laki-laki itu. Dan memilih seperti gadis gurun lainnya yang setia menunggu lelakinya.

Maka anak laki-laki itu pun pergi bersama Sang Alkemis menuju tempat di mana harta karunnya berada. Walaupun perang antar suku berkecamuk, mereka tetap maju melawan ganasnya padang pasir. Dalam perjalanananny bersama Sang Alkemis, anak laki-laki itu semakin mengerti gunanya memahami pertanda. Dan menemukan harta karunnya sendiri.

Novel ini memiliki struktur penceritaan yang sederhana. Pembaca tidak harus mengerutkan kening mengikuti alurnya. Tapi harus baik-baik mencerna seretan kalimat yang sarat dengan logika bermakna dari balik percakapannya. Gaya bahasanya inspiratif, tidak bertele-tele, dan tidak hiperdeskriptif. Sehingga pembaca tidak lelah mengikuti jalan cerita sampai akhir. Yang menarik, Paulo hanya sekali menyebutkan nama tokoh utamanya pada bagian awal cerita. Selebihnya ia menyebut Santiago dengan ‘anak laki-laki’.

Kelebihan paulo dalam mengarang novelnya terletak pada imajinasinya yang bebas. Ia tidak terjebak pada permainan logika. Sebagai contoh dalam ceritanya, terdapat seorang raja yang selalu berada di dekat orang-orang yang berusaha meuwjudkan impiannya. Ia dapat menjadi apa saja. Seperti menjadi batu atau benda apa pun. Selain itu, adegan ketika anak laki-laki itu berbicara dengan padang pasir, angin, dan matahari untuk mengubah dirinya menjadi angin, merupakan bukti Paulo pandai memainkan seluruh elemen dalam novelnya untuk mencapai tahap klimaks.

Sang Alkemis terbagi 3 bagian. Pertama, kehidupan Santiago sebagai penggembala dan perjalanannya menuju Mesir. Kedua, pencarian harta karunnya bersama Sang Alkemis. Bagian terakhir berupa epilog sebagai penutup dari novel ini. Membacanya, kita dihadapkan pada potongan cerita yang sebenarnya juga terjadi pada kita namun tak disadari. Seperti ketakutan akan perubahan ataupun penghentian langkah kita terhadap impian yang sebenarnya bisa kapan saja diwujudkan.

Minggu, 30 Agustus 2009

REFLEKSI KEHIDUPAN DALAM DUNIA SOPHIE




oleh : Khalisotussurur

JUDUL : DUNIA SOPHIE
PENULIS : JOSTEIN GAARDER
PENERJEMAH : RAHMANI ASTUTI
PENYUNTING : YULIANI LIPUTO
CETAKAN : MEI 2004
PENERBIT : MIZAN PUSTAKA
TEBAL : 561 HALAMAN

Novel ini mengisahkan tentang seorang gadis muda yang mendapatkan pelajaran filsafat dari guru filosof misteriusnya. Sophie Amundsend, baru saja pulang sekolah, ketika ia menemukan surat misterius. Surat tanpa nama pengirim itu sama misteriusnya dengan isi surat tersebut. ‘Siapakah kamu?’. Pertanyaan tersebut menggugah hati Sophie. Pertanyaan mendasar yang mungkin jarang terpikirkan oleh semua orang termasuk dirinya.

Bersamaan dengan surat-surat yang dikirimkan pengirim misterius tersebut, Sophie mendapatkan surat lain yang ditujukan untuk Hilde Moller Knag. Namun, surat tersebut memang sengaja dikirim melalui Sophie. Surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde ke-15 itu berasal dari ayahnya. Pada surat itu tertempel perangko Norwegia yang dicap pos Batalyon PBB. Anehnya, ultah Hilde bertepatan sebulan sebelum ulang tahun Sophie. Keanehan lain terus terjadi pada Sophie setelah mendapatkan surat misterius tersebut. Tapi justru dari situlah Sophie muali mendapatkan pelajaran filsafatnya.

Memeriksa kotak surat akhirnya menjadi rutinitas Sophie. Suatu hari, ia menemukan satu amplop besar yang bagian belakangnya bertuliskan ‘Pelajaran Filsafat. Hati-hati’. Rasa penasarannya memuncak. Saat itulah filosof misterius menjelaskan maksudnya untuk memberikan Sophie pelajaran filsafat.

Melalui pertanyaan, filosof itu diam-diam mengantarkan Sophie pada pelajaran filsafat. ‘Tidak adakah sesuatu yang memikat hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang-tidak soal siapa mereka atau di mana mereka tinggal di di dunia ini? Ya, Sophie sayang, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Dan itulah masalah-masalah yang dibahas dalam pelajaran ini’.

Rangkaian kalimat dalam surat itu membuat Sophie memutar otak. Kini ia baru menyadari ada hal-hal yang lebih penting dari yang sekedar dipelajarinya di sekolah. Filosof itu pun secara rutin mengirimkaan Sophie surat yang berisi berlembar-lembar kertas pelajaran filsafat. Ia memulainya dengan menjelaskan pada Sophie bahwa yang dibutuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu.

Novel ini terbagi tiga bagian. Pertama saat Alberto Knox mulai mengirimkan pelajaran filsafatnya pada Sophie melalui surat. Kedua, Sophie bertemu dengan Alberto dan melanjutkan pelajaran filsafatnya melalui pertemuan diskusi. Dan ketiga, ketika Hilde muncul dan mulai membaca novel karangan ayahnya, Dunia Sophie.

Gaarder membuat alur yang sangat menarik dalam novel ini. Mengambil ide Plato tentang ‘Mitos Gua’, Gaarder menyajikan novel ini dengan memutarbalikkan realitas. Pada awal penjelasannya, sang guru filsafat, Alberto Knox sempat menerangkan sebuah mitos tentang beberapa orang yang tinggal di dalam gua bawah tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan kaki terkekang. Maka dari itu mereka hanya dapat memandang ke dinding gua.

Sementara di belakang mereka ada api unggun, muncul bayangan dari orang-orang yang melewatinya. Satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua tersebut hanyalah refleksi dari bayangan tersebut. Karena telah dalam posisi tersebut sejak dilahirkan, maka mereka mengira hanya bayang-bayang itu yang ada.

Gaarder lalu meminta untuk membayangkan, jika salah satu dari penghuni gua mencoba melepaskan ikatan kekang kaki mereka. Dia akan berbalik dan melihat cahaya yang terang. Lalu mulai terpesona melihat benda-benda di luar gua. Karena untuk pertama dirinya melihat warna-warni dan berbagai bentuk benda dengan jelas. Dia dapat melihat bunga dan hewan sungguhan. Dan mempertanyakan dari mana semuanya berasal. Dia melihat bagaimana matahari dapat menerangi semuanya. Hal tersebut sama dengan ketika ia melihat bayangan dari dalam gua akibat refleksi cahaya api. Penghuni gua itu gembira telah menemukan kebebasannya.

Tapi ia teringat teman-temannya yang masih terjebak di dalam gua. Ia masuk ke dalam dan menceritakan bayang-bayang di dinding merupakan refleksi dari benda-benda yang sebenarnya. Tapi penghuni gua yang lain tidak mempercayainya dan membunuhnya.

Melalui sudut pandang itulah Gaarder menceritakan ‘Dunia Sophie’. Awalnya Sophie diangkat sebagai tokoh nyata. Ia mendapatkan keanehan-keanehan sejak mendapatkan surat dari guru filsafat misteriusnya, Alberto. Dalam hal ini, jika dianalogikan, sebenarnya Sophie hanyalah refleksi bayang-bayang dari api unggun tersebut.

Pada pertengahan novel, Gaarder mulai menyadarkan pembaca bahwa Sophie dan ‘dunianya’ hanyalah kado hasil karangan ayahnya untuk Hilde yang berulang tahun ke-15. Maka tak heran jika dalam penjelasan filsafatnya, Alberto dan Sophie seringkali dihadapkan oleh tokoh-tokoh cerita lainnya seperti winnie the pooh, gadis penjual korek api dan lain-lain. Itu karena Sophie bukanlah realitas yang sebenarnya. Sophie hanya berada dalam dunia ide. Dunia yang sebenarnya adalah kisah Hilde Moller Knag.

Sesungguhnya novel ini adalah novel sejarah. Karena Gaarder dengan ringkas menuliskan sejarah filsafat dari awal perkembangannya hingga bagaimana keadaan di zaman sekarang. Ia bercerita tentang tokoh-tokoh filsafat mulai dari filosof alam, Plato, Descartes, Kant hingga Freud. Gaarder juga menjelaskan situasi di Athena, abad pertengahan, renaisans, zaman barok hingga zaman ini. Semua terangkum dan disajikan dengan renyah oleh Gaarder. Bahasa yang digunakan pun mudah dicerna. Dapat dikatakan buku ini menjadi buku sunnah yang wajib bagi pemula, ‘Philosophy For Beginner’.

Senin, 29 Desember 2008

Gender


Apa yang terlintas dalam benak anda ketika disebutkan kata gender? Kebanyakan dari kita akan berpikiran kata gender mengacu pada topik mengenai feminisme atau masalah sosial yang kerap terjadi pada perempuan. Hal tersebut memang saling berkaitan. Bahkan dalam buku Sistem Sosial Indonesia terbitan Universitas Terbuka dikatakan bahwa konsep gender muncul dari masalah yang berhubungan dengan feminisme dimana perempuan seringkali mendapatkan posisi yang termarjinalkan di masyarakat. Namun, ide dan konsep mengenai gender, sex, dan feminisme tetap harus dibedakan karena ketiga hal tersebut tentu memang sangat berbeda.

Konsep gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Stoller (1968) yang memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan fisik biologis. [1] Untuk mengawali, pertama akan saya antar kepada pemahaman yang lebih mudah mengenai konsep jenis kelamin. Bentuk pencirian manusia yang bersifat fisik biologis mengacu pada sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin seperti kita ketahui terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki. Setiap jenis kelamin tersebut memiliki ciri fisik biologis yang berbeda yang akan melekat hingga individu tersebut meninggal. Misalnya perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, sedangkan laki-laki memproduksi sperma merupakan hal yang tidak dapat diubah fungsinya dan terjadi secara universal karena tidak melihat suku, agama, ras ataupun latar belakang ekonomi.

Sedangkan konsep gender lebih mengacu pada hal yang bersifat sosial budaya. Maksudnya peran antara laki-laki dengan perempuan dibentuk berdasarkan keadaan sosial budaya tempat seseorang tinggal. Jika dahulu identik hanya laki-laki yang dapat menjadi polisi, kini perempuan juga dapat menjadi polwan. Atau jika urusan perempuan diidentikkan dengan dunia memasak atau dapur, kini banyak laki-laki yang justru pandai memasak. Contoh di atas merupakan bentuk gender. Kenapa dikatakan gender? Karena mengacu kepada peran antara kedua jenis kelamin manusia tersebut. Peran tersebut bersifat berubah-ubah setiap waktu dan tempat tergantung keadaan social budaya saat itu. Gender atau peran antara perempuan dan laki-laki tersebutlah yang menentukan apakah seseorang harus melakukan hal tertentu atau tidak bagi dirinya karena terdapat penilaian masyarakat yang membentuknya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sex atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Jenis kelamin tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku di mana saja, merupakan kodrat Tuhan. Sedangkan gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu dan budaya masyarakat, bukan kodrat Tuhan dan buatan manusia. Jadi kini dapat kita bedakan bahwa konsep gender jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin/sex.

Telah kita ketahui bahwa gender merupakan peran antara perempuan dan laki-laki yang terkonstruk sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat yang ada. Sosialisasi mengenai gender pun telah ada sejak individu dilahirkan hingga dewasa. Dalam hal ini, keluargalah yang menjadi media sosialisasi gender pertama bagi anaknya. Ketika masih balita, konstruk yang terdapat dalam masyarakat ialah anak perempuan bermain dengan boneka sedangkan anak laki-laki bermain dengan pistol. Ketika duduk di bangku dasar, dalam pelajaran bahasa Indonesia seringkali disebutkan bahwa ibu memasak di dapur dan ayah bekerja ke kantor. Contoh tersebut merupakan sosialisasi konsep yang membentuk anak memahami apa yang seharusnya perempuan atau laki-laki lakukan.

Sosialisasi konsep gender yang telah terbentuk dalam masyarakat tersebut membentuk perbedaan gender. Dalam masyarakat, perbedaan gender tersebut lalu berubah sifatnya atau dipahami seperti konsep fisik biologis yang sifatnya ajeg atau secara kodrati. Atau lebih jelasnya, perbedaan gender sudah merupakan kodrat antara laki-laki dan perempuan. Contohnya seperti apa yang harus dilakukan laki-laki lebih bersifat punlik sedangkan perempuan lebih bersifat domestik.

Perbedaan gender yang terbentuk akan berlangsung damai jika terdapat keadilan dalam masyarakat. Namun berbeda halnya jika terdapat ketidakadilan gender (inequality gender) yang bisa terjadi pada perempuan atau pun laki-laki. Hanya saja melihat pada kasus yang terjadi, ketidakadilan gender tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Hal inilah yang menurut saya justru memunculkan konsep feminisme. Dimana feminisme muncul setelah adanya ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender tersebutlah yang menjadi relevan dibahas sampai saat ini. Karena hingga kini kita masih bisa menemukan bagaimana konsep gender dan jenis kelamin seringkali dicampuradukkan. Maksudnya ketika berbicara mengenai peran perempuan yang misalnya tidak harus bersekolah, alas an yang seringkali dikedepankan adalah karena dia perempuan yang secara kodrati memang harus seperti itu atau karena pada akhirnya perempuan akan kembali bekerja di dapur mengurus masalah domestik. Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan gender yang mengorbankan perempuan sehingga menjadi termarjinalkan. Contoh di atas merupakan bentuk subordinasi bagi perempuan yang membentuk imej bahwa perempuan adalah second sexes.

Dalam hal ini, kita telah mengetahui bahwa masalah gender erat kaitannya dengan kondisi social budaya masyarakat. Maka untuk mengatasi ketidakadilan gender tersebut, analisis social budaya masyarakatlah yang tepat mengatasinya. Sehingga dapat dicari akar penyebab mengapa ketidakadilan gender tersebut dapat terjadi. Dan dapat didiskusikan bersama dalam masyarakat bagaimana solusi atas permasalahan yang terjadi.

[1] Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka. Hal 4.5