Jumat, 04 Februari 2011

SUBJEKTIVITAS WAKTU

Struktur bahasa selalu menempatkan waktu sebagai keterangan. Keterangan tentu saja menempatkan diri tidak sebagai subjek, objek, dan predikat. Itu berarti keterangan tidaklah terlalu penting jika sudah ada 3 elemen yang menyusun sebuah kalimat. Bahkan jika mengikuti kaidah bahasa yang baik, keterangan waktu dan tempat jarang ditempatkan di awal kalimat. Dalam hal ini, waktu termarjinalkan oleh struktur bahasa. Namun, dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (SDD), waktu menempati posisi sebagai subjek. Ia disejajarkan dengan eksistensi subjek yang sebelumnya telah ada.
Kumpulan puisi SDD berjudul Arloji. Arloji merupakan penunjuk waktu. Di sini waktu memainkan peran sebagai subjek yang hidup. Subjek yang menggerakkan subjek lainnya. Di sini waktu mencoba untuk bereksistensi. Waktu bukanlah hal yang lagi termarjinalkan dalam struktur bahasa. Waktu menempatkan diri sebagai subjek.
Marsinah buruh pabrik arloji,
Mengurus presisi:
Merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
Ia sangat cermat dan pasti.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Dalam puisi di atas, SDD mencoba untuk menampilkan waktu hampir sejajar dengan Marsinah. Pada awal sajak, SDD memang patuh pada pola struktur bahasa, menempatkan Marsinah sebagai subjek. Ia menjelaskan bahwa Marsinah adalah seorang buruh pabrik arloji. Lalu ia melanjutkan dengan menempatkan kata 'Mengurus' sebagai predikat. Sedangkan 'Presisi' sebagai objek. Tapi dua kalimat terakhir, SDD memunculkan eksistensi waktu. SDD seakan mengatakan bahwa waktu terus bergerak sebagai subjek, sedangkan Marsinah tenggelam sebagai objek dari waktu.
Pada sajak-sajak lanjutannya, SDD menuliskan :
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

                Dalam sajak itu jelas bahwa SDD telah memutlakkan waktu yang semakin dinamis. Waktu tetap berjalan. Sementara Marsinah berhenti dan mati. Tidak ada lagi subjek yang berpredikat objek. Karena subjek telah mati. Ketika subjek mati, muncullah subjek lain yang tidak pernah mati. Waktu. Namun, waktu terus bergulat dengan subjek yang menjadi lawannya sejak awal. Subjek yang memang seharusnya berperan sebagai subjek. Marsinah. Ketika Marsinah mati dan menjadi objek, ia sekaligus bangkit kembali menjadi subjek. Menggantikan subjektivitas waktu yang membunuhnya. Lagi-lagi, waktu dan Marsinah saling membunuh untuk eksistensinya sebagai subjek. Karena ketika subjek itu mati dan berperan sebagai objek, justru subjektivita dirinya semakin menguat.
                Marsinah bukanlah siapa-siapa ketika hanya menjadi buruh pabrik arloji. Ia hanya menjadi objek dari subjektivitas waktu. Tapi ketika ia mati, subjektivitas Marsinah menguat mengalahkan subjektivitas waktu.

Marsinah itu arloji sejati,
Melingkar di pergelangan
Tangan kita ini;
Dirabanya denyut nadi kita,
Dan diingatkannya
Agar belajar memahami
Hakikat presisi
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Persepsi tentang Marsinah sebagai objek hanya hilang sebentar. Setelah itu, walaupun secara material Marsinah telah mati dan tidak ada sebagai subjek, subjektivitasnya muncul dalam pikiran-pikiran orang. Subjektivitas Marsinah seakan dihadirkan kembali melalui puisi SDD. Marsinar tidak benar-benar mati. Kehadirannya masih kita rasakan lewat puisi SDD. Eksistensinya sebagai subjek kembali menguat. Eksistensi Marsinar sebagai subjek pun akhirnya telah berhasil membunuh subjektivitas waktu. Waktu mati, dan kembali menempati posisinya sebagai keterangan. Baik dalam struktur bahasa maupun eksistensinya.

Tidak ada komentar: