Kamis, 24 Februari 2011

The Edge; Kembali Menjadi Subjek (bagian 3)


           
Kekuatan objek, ternyata berkembang dari kelemahan dirinya. Unsur kelemahan itu meliputi sifat inferior, diobjektifikasi, dan eksistensi kosong. Ketiga hal tersebut tidaklah menjadi hal yang buruk. Tapi justru dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang ideal. Telah dibahas dalam The Edge bagian I, kebanyakan filosof mengidealkan sesuatu yang baik. Sedangkan negativitas dianggap hal yang tidak mendatangkan kebaikan.
Walaupun begitu, ada beberapa perumus teori yang juga mengidealkan sesuatu yang sebenarnya tidak ideal. Contohnya quote sivis pacem para bellum yang terdapat dalam ilmu hubungan internasional, jika ingin berdamai harus siap berperang. Hemat kata, ada utopia tentang perdamaian, tapi hal tersebut meniscayakan peperangan. Hal serupa dibahas penulis dalam The Edge bagian III ini. Pada tulisan ini, mari kita idealkan sesuatu yang jarang diidealkan seseorang. Mengidealkan negativitas!
                Namun, sangat penting untuk ditekankan, mengidealkan negativitas bukan mengarah pada hal yang merugikan orang lain. Pada konteks ini, penulis menentang bentuk negativitas yang merugikan dan mengorbankan hak orang lain. Sebelum membangun asumsinya, penulis sepakat dengan John Rawls dalam teori Keadilannya. Hal itu dijelaskan Rawls pada magnum opusnya Teori-teori Keadilan. John Rawls mencoba untuk membangun teori keadilan dengan mengkritik penganut utilitarianisme.
Menurutnya, paham utilitarianisme terlalu mengedepankan aspek manfaat dibandingkan hak. Sementara, Rawls lebih menekankan pada aspek hak. Sehingga tak peduli seberapa besar manfaatnya bagi sebagian orang, hal itu takkan adil jika hak sebagian orang yang lain lagi dikorbankan. Sedangkan jika seluruh hak setiap orang telah dipenuhi, paling tidak, terdapat standar pemenuhan hak yang dinikmati manfaatnya bagi semua orang. Sehingga, perlu sekali lagi ditekankan, penulis menentang bentuk negativitas yang mengorbankan hak orang lain demi kepentingan dirinya.
                Jika pada The Edge bagian I dan II, penulis membahas mengenai objek, maka dalam tulisan ini, penulis kembali memperdalam pembahasan mengenai kekuatan berada pada titik tersebut. Asumsi pertama, bentuk inferioritas dalam diri objek akan mengembalikan dirinya sebagai subjek. Sedangkan sifat dirinya yang menjadi objek, pun telah menjadi objek yang diperhitungkan karena subjek lain membutuhkan setiap objek dalam tindakannya yang berpredikat. Hal itu akan menumbuhkan eksistensi objek. Hal lain, kekosongan dalam diri objek justru menunjukkan eksistensi dirinya yang berbeda dari eksistensi lainnya, yaitu subjek lain. Subjek ada karena ada objek. Hal yang disebutkan di atas, mengarah pada sebuah eksistensi superioritas objek. Eksistensi tersebut akan menghasilkan kesadaran. Ya! Hal yang perlu digarisbawahi, KESADARAN.
                Mengutip ide Marx tentang kesadaran kelas, dan mengutip dari salah satu film tentang apartheid di Afrika Selatan tentang kesadaran kulit hitam, menunjukkan kesadaran adalah hal yang penting. Selain itu, juga mengutip Sudarminta dalam buku Epistemologi, kesadaran juga menjadi bagian dari bagaimana seorang individu bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Sehingga, posisi individu yang dijadikan objek, akan menumbuhkan kesadaran tentang dirinya. Paling tidak, mempertanyakan pertanyaan klasik dalam dunia filsafat yang pernah diajukan dalam novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Siapa aku?
                Mempertanyakan posisi diri mengajak kita pada asumsi kedua, berpikir. Berpikir mengajak diri kita untuk tidak diam. Berpikir mengarahkan setiap individu untuk dapat mempertimbangkan posisi dirinya. Ketika individu menyadari dirinya sebagai objek, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang seharusnya. Pertanyaan tentang apa yang seharusnya akan dibenturkan dengan apa yang terjadi. Dari apa yang terlihat dari sesuatu yang telah terjadi, akan timbul keinginan akibat eksistensi diri untuk mengubah keadaan.
                Melalui upaya untuk mengubah keadaan, kita sampai pada asumsi ketiga, kreativitas. Seseorang yang berpikir, akan memunculkan persepsi-persepsi yang kreatif secara rasional dan empiris. Sehingga untuk mengubah keadaan, individu akan dituntut untuk memiliki daya kreatif membaca keadaan terhadap sesuatu yang diinginkan. Dari ketiga hal tersebut, muncul asumsi keempat, produktivitas. Individu yang kreatif membaca keadaan, akan mendesak dirinya untuk mengubah keadaan sesuai dengan kepentingannya. Itu berarti individu tersebut akan secara produktif membentuk sistem-sistem baru untuk menciptakan objek lain di luar dirinya. Diri seorang individu kembali pada dirinya sebagai subjek yang berhadapan dengan subjek.
                Keempat asumsi tersebut, mencoba untuk menjadikan sesuatu yang negatif tidak dipasrahkan begitu saja. Tapi justru mempertanyakan sejauh mana seorang subjek sebagai individu berani mempertaruhkan dirinya hingga ke titik terendah? Sehingga melalui titik terendah tersebut, individu justru bisa bangkit dan menguji seberapa ketangguhan dirinya terhadap bahaya.
                Anthony Giddens dalam buku Runaway World mengatakan bahwa manusia sebenarnya menyukai risiko yang tinggi. Hal itu terlihat dari teknologi yang digunakan untuk memudahkan, sebenarnya memiliki risiko yang sangat tinggi. Misalnya ketergantungan pada komputer akan menyebabkan manusia bahkan dunia rugi miliaran dolar jika alat tersebut mendadak mati. Kita, subjek-subjek yang mengaku telah menjadi subjek, telah terobjektivikasi oleh objek buatan kita sendiri. Tapi hal perlu dipertanyakan lagi (karena pertanyaan tidak akan pernah selesai), sejauh mana kita bangkit dan menguji diri hingga mengembalikan hakiki diri kita sebagai subjek?!
                Contoh lain, seseorang yang memanjat tebing, naik gunung, bermain rollercoaster, mereka menginginkan risiko yang tinggi. Hal itu sama terjadi dengan posisi The Edge, sejauh mana individu menempatkan dirinya berada dalam pusaran The Edge? Menjadi objek yang mampu mengembalikan dirinya untuk menjadi subjek. 

gambar : google

Selasa, 15 Februari 2011

The Edge; Eksistensi Superioritas Objek (bagian 2)

              
             John Rawls membahas tentang teori keadilan, sedangkan Kant membahas perdamaian. Masih banyak lagi filosof yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang ideal. Hal yang ingin dicapai semua orang. Keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan menjadi topik sentral dan puncak tertinggi keinginan individu. Tapi bukankah untuk mencapai utopia tertinggi itu harus ditelaah penyebab yang menafikkannya? Budi Hardiman dalam buku 'Memahami Negativitas' mencoba untuk mengupasnya.

          Tapi, pada kali ini, tulisan tidak akan menelaah apa yang menjadi pisau analisis Budi Hardiman. Walaupun objek kajiannya sama, tentang negativitas, penulis akan mencoba untuk secara mandiri membangun kerangka pikirannya dari asumsi yang dibangun pada tulisan sebelumnya. The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1) sebenarnya belum menjawab pertanyaan yang diajukan pada awal tulisan. Tapi, penulis ingin memberikan dasar bahwa posisi the edge menjadi topik yang layak untuk dibahas.

          Posisi the edge tak jauh berbeda dengan posisi insecure. Lalu apakah yang membedakan kedua hal tersebut? Apakah dalam posisi the edge seorang individu juga sekaligus berada dalam posisi insecure? Atau apakah setiap individu yang berada pada posisi insecure menandakan dirinya berada pada posisi the edge?

Sebelum lebih jauh mengupas hal tersebut, telah dipertanyakan kenapa inferioritas, objek, dan kosong menjadi menarik dibahas? Berikut ini beberapa argumentasinya. Inferioritas menunjukkan individu yang bersangkutan dalam keadaan lemah. Dalam hal itu, individu hanya memiliki dua pilihan. Pertama, individu tersebut mati karena superioritas subjek lain. Subjek yang mengobjektivikasi objek akan melakukan tindakan yang sesuai dengan kuasa dan kepentingannya. Objek yang menerima kelemahannya akan patuh pada sistem buatan subjek. Jika objek tersebut tidak dapat melakukan perlawanan, bisa dikatakan kemungkinan besar dirinya akan mati dengan mudah. Kedua, individu tersebut tidak mati, tapi masuk ke dalam sistem buatan subjek dan mampu bertahan tanpa perlawanan. Kemampuan bertahan dengan status sebagai objek memang mematikan diri objek tersebut. Sehingga, subjek yang dijadikan objek, tidak bisa mengembangkan dirinya sebagai subjek yang sebenarnya. Kemampuan dasarnya sebagai subjek dimatikan. Dibunuh.
                Namun, ada sisi lain yang menarik dari bagaimana menjadi objek. Individu yang telah masuk ke dalam sistem yang dibuat subjek akan dapat memahami bagaimana kinerja sistem itu. Ketika metode kerja sistem tersebut dapat dipahami, secara langsung pula objek dari sistem tersebut akan memahami kelebihan dan kekurangan darinya. Sehingga, individu yang telah menjadi objek secara otomatis juga menjadi subjek dari sistem yang telah dibuat oleh subjek pertama. Atau sistem buatan subjek pertama, telah menjadi objek bagi subjek yang kedua.
Contohnya, dalam sistem antarnegara, kolonial adalah subjek pertama, rakyat adalah subjek kedua. Kolonialisme menunjukkan semangat superioritas subjek pertama terhadap subjek kedua. Sehingga, dibuatlah sistem yang mengobjektivikasi subjek kedua. Rakyat harus patuh pada segala aturan sistem kolonial. Ketika aturan tersebut dibentuk, subjek kedua harus menjalankan. Namun sebelum dijalankan, aturan tersebut harus dipahami. Sehingga, sistem yang dibuat subjek pertama, secara otomatis menjadi objek bagi subjek kedua. Sistem tersebut dijalankan karena inferioritas subjek kedua. Dengan pemahaman subjek kedua terhadap sistem tersebut, dapat ditemukan kelebihan dan kekurangan dari kolonial dalam menjadikan rakyat sebagai objek. Dengan sendirinya, subjek kedua akan mulai mencari celah, dan berpeluang untuk menempatkan dirinya kembali sebagai subjek. Interaksi intersubjektif. Sehingga hubungan yang ada bukan lagi subjek objek. Tapi subjek yang berhadapan dengan subjek. Objek itu telah kembali hidup.
Poin kedua, menjadi objek. Apakah semua objek inferior? Tidak! Posisi subjek dan objek dapat selalu saling ditukar. Ketika subjek mengobjektivikasi objek, hal itu tidak selalu berarti objek inferior. Melainkan menunjukkan superioritas objek. Letak superioritas terletak dari subjek yang membutuhkan objek setelah kata kerja. Misalnya, Ayah memetik jambu. Kata-kata ayah memetik, akan rancu jika tidak ada objek jambu. Hampir semua predikat membutuhkan objek. Ketika subjek membutuhkan objek, itu jelas menunjukkan adanya eksistensi objek yang sebenarnya. Objek tetaplah objek. Tapi objek itu tidak lalu dikatakan inferior karena posisinya sebagai objek. Dengan kata lain, eksistensi objek diperhitungkan.
Jika mengacu pada contoh kolonialisme, rakyat yang dijajah tidak serta merta dengan mudah dimatikan. Tapi colonial perlu terlebih dahulu mempelajari ilmu geografi, geopolitik, atauapun antropologi untuk dapat menaklukkan objek. Kolonialisme juga terjadi bukan semata karena objek tersebut lemah, tapi justru karena memiliki sesuatu yang tidak dimiliki subjek.
Poin ketiga, kosong. Sebenarnya kosong hanya simbol dari posisi the edge. Kenapa disimbolkan dengan kosong? Kosong menunjukkan adanya nihilisme. Tidak ada apa-apa. Tapi apakah benar kosong berarti tidak ada apa-apa? Ruangan kosong, akankah benar-benar kosong? Kosong. 0. Nol. Menunjukkan jumlah angka bilangan. Kosong tidak berbilangan. Tidak positif maupun negatif. Bisa dikatakan angka nol tidak memihak. Netral. Selalu berdiri dengan dirinya yang tidak ke kiri atau ke kanan. Karena itu dia kosong. Tidak berarti apa-apa. Tapi bukankah tidak berarti apa-apa juga adalah sebuah eksistensi? Kosong. Nol. Menunjukkan dirinyalah eksistensi yang tidak memiliki kemiripan dengan eksistensi lainnya. Positif 2 dan negatif 2 memang berbeda, tapi bukankah juga memiliki kesamaan? Angka 2 itu. Sedangkan nol, hanya ada nol. Itulah eksistensi nol. Eksistensi yang apa adanya. Lalu kenapa the edge diidentikkan dengan nol? Kosong? Karena objek dan inferioritas juga berarti tidak ada apa-apa. Dan semua subjek tidak ingin eksistensinya tidak diakui. Subjek selalu ingin bereksistensi dengan caranya masing-masing.
gambar : google

Sabtu, 05 Februari 2011

The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1)


Apa yang akan dilakukan setiap individu ketika berada di tepian jurang? 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada setting Perang Dunia I dan II tahun 1939-1945. Dalam mengamati Perang, pendekatan hubungan internasional  menggunakan teori realisme untuk menganalisisnya. Teori Realisme mengajukan gagasan Security Dilemma antar negara. Security pada konteks perang mengacu pada keamanan dan pertahanan negara terhadap negara lain. Sedangkan dilemma yang dimaksudkan terkait dengan kekuatan negara sebagai aktor hubungan internasional. Kekuatan atau power yang dimaksud adalah kekuatan militer dan angkatan bersenjatanya. Sehingga jika power suatu negara mengalahkan negara lain, negara itu berada pada posisi secure. Lain halnya jika power negara itu lemah, maka ia berada pada posisi insecure.
Asumsi realisme akan menjawab pertanyaan di atas jika tingkat analisisnya diturunkan dari level negara ke individu. Individu yang memiliki power akan berada pada wilayah yang secure atau aman. Sedangkan jika tidak memiliki power, ia akan berada dalam posisi insecure. Posisi insecure tersebut sama analoginya dengan seorang individu yang berada pada posisi the edge. Tulisan ini akan difokuskan pada posisi the edge tersebut. Ada beberapa argumentasi kenapa posisi the edge atau insecure menarik untuk dibahas.
Pertama, posisi insecure adalah posisi yang tidak ideal. Pada posisi itu, tingkat individu maupun negara akan selalu merasa terancam oleh power pihak lain. Hal itu dikarenakan posisi insecure menunjukkan gambaran individu yang lemah karena tidak memiliki power. Singkatnya insecure mengindikasikan pada pribadi yang inferior.
Kedua, ketika individu memiliki pribadi yang inferior, ia akan dijadikan objek bagi individu lain. Dalam hal ini, interaksi antar individu sebagai subjek, seharusnya bersifat intersubjektif. Tapi dalam posisi inferior, sifat intersubjektif digantikan dengan hubungan subjek yang superior, yang mengobjektivitikasi objek yang inferior.
Ketiga, mayoritas filosof maupun individu hampir selalu membahas tentang sesuatu yang ideal. Tentang bagaimana 'ada' posisi yang secure. Posisi secure tersebut mengandung power, superioritas, dan kuasa subjek. Sehingga, secure menjadi hal yang ideal untuk selalu dibahas dan dicapai. Sementara itu, posisi insecure adalah keadaan individu yang berada pada posisi the edge. Posisi the edge menggambarkan individu yang berada pada titik terendah dalam hidup. Kembali ke titik nol. 0. Kosong.
Dari ketiga argumen di atas, akan timbul beberapa pertanyaan. Kenapa kondisi yang tidak ideal dengan unsur inferioritas, objek, dan kosong menjadi menarik? Apa yang akan dilakukan setiap individu ketika berada pada posisi the edge? Kita kembali pada pertanyaan awal. 
(gambar : google)

Jumat, 04 Februari 2011

SUBJEKTIVITAS WAKTU

Struktur bahasa selalu menempatkan waktu sebagai keterangan. Keterangan tentu saja menempatkan diri tidak sebagai subjek, objek, dan predikat. Itu berarti keterangan tidaklah terlalu penting jika sudah ada 3 elemen yang menyusun sebuah kalimat. Bahkan jika mengikuti kaidah bahasa yang baik, keterangan waktu dan tempat jarang ditempatkan di awal kalimat. Dalam hal ini, waktu termarjinalkan oleh struktur bahasa. Namun, dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (SDD), waktu menempati posisi sebagai subjek. Ia disejajarkan dengan eksistensi subjek yang sebelumnya telah ada.
Kumpulan puisi SDD berjudul Arloji. Arloji merupakan penunjuk waktu. Di sini waktu memainkan peran sebagai subjek yang hidup. Subjek yang menggerakkan subjek lainnya. Di sini waktu mencoba untuk bereksistensi. Waktu bukanlah hal yang lagi termarjinalkan dalam struktur bahasa. Waktu menempatkan diri sebagai subjek.
Marsinah buruh pabrik arloji,
Mengurus presisi:
Merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
Ia sangat cermat dan pasti.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Dalam puisi di atas, SDD mencoba untuk menampilkan waktu hampir sejajar dengan Marsinah. Pada awal sajak, SDD memang patuh pada pola struktur bahasa, menempatkan Marsinah sebagai subjek. Ia menjelaskan bahwa Marsinah adalah seorang buruh pabrik arloji. Lalu ia melanjutkan dengan menempatkan kata 'Mengurus' sebagai predikat. Sedangkan 'Presisi' sebagai objek. Tapi dua kalimat terakhir, SDD memunculkan eksistensi waktu. SDD seakan mengatakan bahwa waktu terus bergerak sebagai subjek, sedangkan Marsinah tenggelam sebagai objek dari waktu.
Pada sajak-sajak lanjutannya, SDD menuliskan :
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

                Dalam sajak itu jelas bahwa SDD telah memutlakkan waktu yang semakin dinamis. Waktu tetap berjalan. Sementara Marsinah berhenti dan mati. Tidak ada lagi subjek yang berpredikat objek. Karena subjek telah mati. Ketika subjek mati, muncullah subjek lain yang tidak pernah mati. Waktu. Namun, waktu terus bergulat dengan subjek yang menjadi lawannya sejak awal. Subjek yang memang seharusnya berperan sebagai subjek. Marsinah. Ketika Marsinah mati dan menjadi objek, ia sekaligus bangkit kembali menjadi subjek. Menggantikan subjektivitas waktu yang membunuhnya. Lagi-lagi, waktu dan Marsinah saling membunuh untuk eksistensinya sebagai subjek. Karena ketika subjek itu mati dan berperan sebagai objek, justru subjektivita dirinya semakin menguat.
                Marsinah bukanlah siapa-siapa ketika hanya menjadi buruh pabrik arloji. Ia hanya menjadi objek dari subjektivitas waktu. Tapi ketika ia mati, subjektivitas Marsinah menguat mengalahkan subjektivitas waktu.

Marsinah itu arloji sejati,
Melingkar di pergelangan
Tangan kita ini;
Dirabanya denyut nadi kita,
Dan diingatkannya
Agar belajar memahami
Hakikat presisi
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Persepsi tentang Marsinah sebagai objek hanya hilang sebentar. Setelah itu, walaupun secara material Marsinah telah mati dan tidak ada sebagai subjek, subjektivitasnya muncul dalam pikiran-pikiran orang. Subjektivitas Marsinah seakan dihadirkan kembali melalui puisi SDD. Marsinar tidak benar-benar mati. Kehadirannya masih kita rasakan lewat puisi SDD. Eksistensinya sebagai subjek kembali menguat. Eksistensi Marsinar sebagai subjek pun akhirnya telah berhasil membunuh subjektivitas waktu. Waktu mati, dan kembali menempati posisinya sebagai keterangan. Baik dalam struktur bahasa maupun eksistensinya.