Senin, 29 Desember 2008

Gender


Apa yang terlintas dalam benak anda ketika disebutkan kata gender? Kebanyakan dari kita akan berpikiran kata gender mengacu pada topik mengenai feminisme atau masalah sosial yang kerap terjadi pada perempuan. Hal tersebut memang saling berkaitan. Bahkan dalam buku Sistem Sosial Indonesia terbitan Universitas Terbuka dikatakan bahwa konsep gender muncul dari masalah yang berhubungan dengan feminisme dimana perempuan seringkali mendapatkan posisi yang termarjinalkan di masyarakat. Namun, ide dan konsep mengenai gender, sex, dan feminisme tetap harus dibedakan karena ketiga hal tersebut tentu memang sangat berbeda.

Konsep gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Stoller (1968) yang memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan fisik biologis. [1] Untuk mengawali, pertama akan saya antar kepada pemahaman yang lebih mudah mengenai konsep jenis kelamin. Bentuk pencirian manusia yang bersifat fisik biologis mengacu pada sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin seperti kita ketahui terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki. Setiap jenis kelamin tersebut memiliki ciri fisik biologis yang berbeda yang akan melekat hingga individu tersebut meninggal. Misalnya perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, sedangkan laki-laki memproduksi sperma merupakan hal yang tidak dapat diubah fungsinya dan terjadi secara universal karena tidak melihat suku, agama, ras ataupun latar belakang ekonomi.

Sedangkan konsep gender lebih mengacu pada hal yang bersifat sosial budaya. Maksudnya peran antara laki-laki dengan perempuan dibentuk berdasarkan keadaan sosial budaya tempat seseorang tinggal. Jika dahulu identik hanya laki-laki yang dapat menjadi polisi, kini perempuan juga dapat menjadi polwan. Atau jika urusan perempuan diidentikkan dengan dunia memasak atau dapur, kini banyak laki-laki yang justru pandai memasak. Contoh di atas merupakan bentuk gender. Kenapa dikatakan gender? Karena mengacu kepada peran antara kedua jenis kelamin manusia tersebut. Peran tersebut bersifat berubah-ubah setiap waktu dan tempat tergantung keadaan social budaya saat itu. Gender atau peran antara perempuan dan laki-laki tersebutlah yang menentukan apakah seseorang harus melakukan hal tertentu atau tidak bagi dirinya karena terdapat penilaian masyarakat yang membentuknya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sex atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Jenis kelamin tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku di mana saja, merupakan kodrat Tuhan. Sedangkan gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu dan budaya masyarakat, bukan kodrat Tuhan dan buatan manusia. Jadi kini dapat kita bedakan bahwa konsep gender jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin/sex.

Telah kita ketahui bahwa gender merupakan peran antara perempuan dan laki-laki yang terkonstruk sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat yang ada. Sosialisasi mengenai gender pun telah ada sejak individu dilahirkan hingga dewasa. Dalam hal ini, keluargalah yang menjadi media sosialisasi gender pertama bagi anaknya. Ketika masih balita, konstruk yang terdapat dalam masyarakat ialah anak perempuan bermain dengan boneka sedangkan anak laki-laki bermain dengan pistol. Ketika duduk di bangku dasar, dalam pelajaran bahasa Indonesia seringkali disebutkan bahwa ibu memasak di dapur dan ayah bekerja ke kantor. Contoh tersebut merupakan sosialisasi konsep yang membentuk anak memahami apa yang seharusnya perempuan atau laki-laki lakukan.

Sosialisasi konsep gender yang telah terbentuk dalam masyarakat tersebut membentuk perbedaan gender. Dalam masyarakat, perbedaan gender tersebut lalu berubah sifatnya atau dipahami seperti konsep fisik biologis yang sifatnya ajeg atau secara kodrati. Atau lebih jelasnya, perbedaan gender sudah merupakan kodrat antara laki-laki dan perempuan. Contohnya seperti apa yang harus dilakukan laki-laki lebih bersifat punlik sedangkan perempuan lebih bersifat domestik.

Perbedaan gender yang terbentuk akan berlangsung damai jika terdapat keadilan dalam masyarakat. Namun berbeda halnya jika terdapat ketidakadilan gender (inequality gender) yang bisa terjadi pada perempuan atau pun laki-laki. Hanya saja melihat pada kasus yang terjadi, ketidakadilan gender tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Hal inilah yang menurut saya justru memunculkan konsep feminisme. Dimana feminisme muncul setelah adanya ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender tersebutlah yang menjadi relevan dibahas sampai saat ini. Karena hingga kini kita masih bisa menemukan bagaimana konsep gender dan jenis kelamin seringkali dicampuradukkan. Maksudnya ketika berbicara mengenai peran perempuan yang misalnya tidak harus bersekolah, alas an yang seringkali dikedepankan adalah karena dia perempuan yang secara kodrati memang harus seperti itu atau karena pada akhirnya perempuan akan kembali bekerja di dapur mengurus masalah domestik. Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan gender yang mengorbankan perempuan sehingga menjadi termarjinalkan. Contoh di atas merupakan bentuk subordinasi bagi perempuan yang membentuk imej bahwa perempuan adalah second sexes.

Dalam hal ini, kita telah mengetahui bahwa masalah gender erat kaitannya dengan kondisi social budaya masyarakat. Maka untuk mengatasi ketidakadilan gender tersebut, analisis social budaya masyarakatlah yang tepat mengatasinya. Sehingga dapat dicari akar penyebab mengapa ketidakadilan gender tersebut dapat terjadi. Dan dapat didiskusikan bersama dalam masyarakat bagaimana solusi atas permasalahan yang terjadi.

[1] Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka. Hal 4.5