The Freedom of Words
Yang kutahu, aku hanya ingin menulis, untuk membebaskanku!!
Kamis, 24 Februari 2011
The Edge; Kembali Menjadi Subjek (bagian 3)
Selasa, 15 Februari 2011
The Edge; Eksistensi Superioritas Objek (bagian 2)
Tapi, pada kali ini, tulisan tidak akan menelaah apa yang menjadi pisau analisis Budi Hardiman. Walaupun objek kajiannya sama, tentang negativitas, penulis akan mencoba untuk secara mandiri membangun kerangka pikirannya dari asumsi yang dibangun pada tulisan sebelumnya. The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1) sebenarnya belum menjawab pertanyaan yang diajukan pada awal tulisan. Tapi, penulis ingin memberikan dasar bahwa posisi the edge menjadi topik yang layak untuk dibahas.
Posisi the edge tak jauh berbeda dengan posisi insecure. Lalu apakah yang membedakan kedua hal tersebut? Apakah dalam posisi the edge seorang individu juga sekaligus berada dalam posisi insecure? Atau apakah setiap individu yang berada pada posisi insecure menandakan dirinya berada pada posisi the edge?
Sabtu, 05 Februari 2011
The Edge; Kekuatan pada Titik Nol (bagian 1)
Jumat, 04 Februari 2011
SUBJEKTIVITAS WAKTU
Minggu, 03 Januari 2010
Semesta Alam Membantumu Meraihnya!
Oleh : Khalisotussurur
Judul : The Alchemist
Penulis : Paulo Coelho
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 8, Mei 2009
Halaman : 216; 20 cm
“Yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan...”
Hal itu yang dipikirkan Santiago, seorang anak laki-laki penggembala di Andalusia. Hasratnya berkelana, telah melawan keinginan ayahnya yang mengharapkan dirinya menjadi pastor. Namun, keingintahuannya tentang dunia lebih menarik perhatiannya daripada mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia (hlm 14).
Novel The Alchemist, justru tidak bercerita mengenai kehidupan seorang Alkemis atau Ahli Kimia yang berproses. Tapi menceritakan kehidupan seorang penggembala domba bersama takdirnya sendiri. Berbekal jaket, buku, dan anggur, ia menjamah padang-padang rumput se-Andalusia. Ia sering bercerita tentang buku-buku yang dibaca dan berkomentar tentang apa yang dilihat pada domba-dombanya. Ia yakin domba-domba itu mengerti perkataannya. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi tentang seorang anak kecil yang memegang tangannya dan memindahkannya ke Piramida di Mesir. Lalu anak itu berkata Santiago akan menemukan harta karunnya di sana. Mimpi itu datang berturut-turut selama dua kali.
Dalam perjalanannya menemukan harta karun, ia mengalami banyak kejadian. Berawal dari kedatangannya ke tempat Peramal Gipsi untuk menafsirkan mimpinya. Peramal tersebut meminta sepersepuluh hartanya jika berhasil ditemukan. Berlanjut pada pertemuannya dengan seorang Raja Salem, Malkisedek. Raja tersebut mengajarkan pada anak itu untuk pandai-pandai membaca pertanda. Karena raja itu meyakini ketika seseorang menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu meraihnya. Lalu raja itu meminta sepersepuluh dombanya. Banyak hal yang menarik antara percakapan antara anak laki-laki dan raja Salem.
Pertemuannya dengan raja itu meyakinkannya untuk terus mengejar impiannya. Ia pun pergi ke Afrika sebagai persinggahan menuju Mesir. Bermodal uang hasil penjualan domba dan batu urim dan tumim pemberian Raja Salem. Walaupun ia telah menjamah Andalusia, Afrika belum bersahabat bagi orang asing sepertinya. Anak itu kecopetan. Dan akhirnya ia bekerja pada seorang pemilik toko kristal yang sepi pelanggan.
Setelah kedatangannya, kepintarannya membaca pertanda membuat toko kristal itu berkembang. Di sela perbicangannya, ternyata pemilik toko kristal itu juga memiliki impian yang sama untuk pergi ke suatu tempat. Pemilik toko kristal itu ingin pergi ke Mekah untuk beribadah. Hanya saja dengan kesuksesan yang didapatnya, ia memilih untuk tetap tinggal di Afrika. Yang menahannya bukan karena harta. Tapi ia sengaja membiarkan impiannya tak diraih, untuk menjadi alasannya baginya untuk terus bertahan hidup.
Sementara, anak laki-laki itu mengambil keputusan untuk ke Mesir. Karena kapan pun ia dapat kembali ke Andalusia dan menjadi gembala. Tapi ketika keputusannya diambil, ia seperti masuk ke dalam arus sungai yang deras. Tak tahu apa yang akan terjadi di depannya. Untuk tiba di Mesir, ia harus melewati padang Sahara yang luas. Apalagi perang antar suku juga sedang bergejolak di Mesir.
Dalam perjalanan menyusuri padang Sahara, anak laki-laki itu berkenalan dengan seorang Inggris. Orang Inggris itu ingin bertemu dengan sang Alkemis yang tahu cara mengubah semua jenis logam menjadi emas. Emas itu disebut batu filsuf dan ramuannya disebut ramuan kehidupan. Mereka juga banyak bercakap mengenai pertanda dan bahasa universal.
Ketika mereka tiba di oasis Al-Fayoum, anak laki-laki itu menanyakan keberadaan Sang Alkemis pada seorang gadis, Fatima. Dari situlah tumbuh cinta antara mereka berdua. Ketika itu pula, anak laki-laki itu kehilangan hasrat untuk berkelana. Ia ingin menetap di satu tempat bersama gadis gurun itu. Namun Fatima menyadari, setiap laki-laki pasti mempunyai impian yang ingin dicapainya. Ia pun merelakan kepergian anak laki-laki itu. Dan memilih seperti gadis gurun lainnya yang setia menunggu lelakinya.
Maka anak laki-laki itu pun pergi bersama Sang Alkemis menuju tempat di mana harta karunnya berada. Walaupun perang antar suku berkecamuk, mereka tetap maju melawan ganasnya padang pasir. Dalam perjalanananny bersama Sang Alkemis, anak laki-laki itu semakin mengerti gunanya memahami pertanda. Dan menemukan harta karunnya sendiri.
Novel ini memiliki struktur penceritaan yang sederhana. Pembaca tidak harus mengerutkan kening mengikuti alurnya. Tapi harus baik-baik mencerna seretan kalimat yang sarat dengan logika bermakna dari balik percakapannya. Gaya bahasanya inspiratif, tidak bertele-tele, dan tidak hiperdeskriptif. Sehingga pembaca tidak lelah mengikuti jalan cerita sampai akhir. Yang menarik, Paulo hanya sekali menyebutkan nama tokoh utamanya pada bagian awal cerita. Selebihnya ia menyebut Santiago dengan ‘anak laki-laki’.
Kelebihan paulo dalam mengarang novelnya terletak pada imajinasinya yang bebas. Ia tidak terjebak pada permainan logika. Sebagai contoh dalam ceritanya, terdapat seorang raja yang selalu berada di dekat orang-orang yang berusaha meuwjudkan impiannya. Ia dapat menjadi apa saja. Seperti menjadi batu atau benda apa pun. Selain itu, adegan ketika anak laki-laki itu berbicara dengan padang pasir, angin, dan matahari untuk mengubah dirinya menjadi angin, merupakan bukti Paulo pandai memainkan seluruh elemen dalam novelnya untuk mencapai tahap klimaks.
Sang Alkemis terbagi 3 bagian. Pertama, kehidupan Santiago sebagai penggembala dan perjalanannya menuju Mesir. Kedua, pencarian harta karunnya bersama Sang Alkemis. Bagian terakhir berupa epilog sebagai penutup dari novel ini. Membacanya, kita dihadapkan pada potongan cerita yang sebenarnya juga terjadi pada kita namun tak disadari. Seperti ketakutan akan perubahan ataupun penghentian langkah kita terhadap impian yang sebenarnya bisa kapan saja diwujudkan.
Minggu, 30 Agustus 2009
REFLEKSI KEHIDUPAN DALAM DUNIA SOPHIE
JUDUL : DUNIA SOPHIE
PENULIS : JOSTEIN GAARDER
PENERJEMAH : RAHMANI ASTUTI
PENYUNTING : YULIANI LIPUTO
CETAKAN : MEI 2004
PENERBIT : MIZAN PUSTAKA
TEBAL : 561 HALAMAN
Bersamaan dengan surat-surat yang dikirimkan pengirim misterius tersebut, Sophie mendapatkan surat lain yang ditujukan untuk Hilde Moller Knag. Namun, surat tersebut memang sengaja dikirim melalui Sophie. Surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde ke-15 itu berasal dari ayahnya. Pada surat itu tertempel perangko Norwegia yang dicap pos Batalyon PBB. Anehnya, ultah Hilde bertepatan sebulan sebelum ulang tahun Sophie. Keanehan lain terus terjadi pada Sophie setelah mendapatkan surat misterius tersebut. Tapi justru dari situlah Sophie muali mendapatkan pelajaran filsafatnya.
Memeriksa kotak surat akhirnya menjadi rutinitas Sophie. Suatu hari, ia menemukan satu amplop besar yang bagian belakangnya bertuliskan ‘Pelajaran Filsafat. Hati-hati’. Rasa penasarannya memuncak. Saat itulah filosof misterius menjelaskan maksudnya untuk memberikan Sophie pelajaran filsafat.
Melalui pertanyaan, filosof itu diam-diam mengantarkan Sophie pada pelajaran filsafat. ‘Tidak adakah sesuatu yang memikat hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang-tidak soal siapa mereka atau di mana mereka tinggal di di dunia ini? Ya, Sophie sayang, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Dan itulah masalah-masalah yang dibahas dalam pelajaran ini’.
Rangkaian kalimat dalam surat itu membuat Sophie memutar otak. Kini ia baru menyadari ada hal-hal yang lebih penting dari yang sekedar dipelajarinya di sekolah. Filosof itu pun secara rutin mengirimkaan Sophie surat yang berisi berlembar-lembar kertas pelajaran filsafat. Ia memulainya dengan menjelaskan pada Sophie bahwa yang dibutuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu.
Novel ini terbagi tiga bagian. Pertama saat Alberto Knox mulai mengirimkan pelajaran filsafatnya pada Sophie melalui surat. Kedua, Sophie bertemu dengan Alberto dan melanjutkan pelajaran filsafatnya melalui pertemuan diskusi. Dan ketiga, ketika Hilde muncul dan mulai membaca novel karangan ayahnya, Dunia Sophie.
Gaarder membuat alur yang sangat menarik dalam novel ini. Mengambil ide Plato tentang ‘Mitos Gua’, Gaarder menyajikan novel ini dengan memutarbalikkan realitas. Pada awal penjelasannya, sang guru filsafat, Alberto Knox sempat menerangkan sebuah mitos tentang beberapa orang yang tinggal di dalam gua bawah tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan kaki terkekang. Maka dari itu mereka hanya dapat memandang ke dinding gua.
Sementara di belakang mereka ada api unggun, muncul bayangan dari orang-orang yang melewatinya. Satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua tersebut hanyalah refleksi dari bayangan tersebut. Karena telah dalam posisi tersebut sejak dilahirkan, maka mereka mengira hanya bayang-bayang itu yang ada.
Gaarder lalu meminta untuk membayangkan, jika salah satu dari penghuni gua mencoba melepaskan ikatan kekang kaki mereka. Dia akan berbalik dan melihat cahaya yang terang. Lalu mulai terpesona melihat benda-benda di luar gua. Karena untuk pertama dirinya melihat warna-warni dan berbagai bentuk benda dengan jelas. Dia dapat melihat bunga dan hewan sungguhan. Dan mempertanyakan dari mana semuanya berasal. Dia melihat bagaimana matahari dapat menerangi semuanya. Hal tersebut sama dengan ketika ia melihat bayangan dari dalam gua akibat refleksi cahaya api. Penghuni gua itu gembira telah menemukan kebebasannya.
Tapi ia teringat teman-temannya yang masih terjebak di dalam gua. Ia masuk ke dalam dan menceritakan bayang-bayang di dinding merupakan refleksi dari benda-benda yang sebenarnya. Tapi penghuni gua yang lain tidak mempercayainya dan membunuhnya.
Melalui sudut pandang itulah Gaarder menceritakan ‘Dunia Sophie’. Awalnya Sophie diangkat sebagai tokoh nyata. Ia mendapatkan keanehan-keanehan sejak mendapatkan surat dari guru filsafat misteriusnya, Alberto. Dalam hal ini, jika dianalogikan, sebenarnya Sophie hanyalah refleksi bayang-bayang dari api unggun tersebut.
Pada pertengahan novel, Gaarder mulai menyadarkan pembaca bahwa Sophie dan ‘dunianya’ hanyalah kado hasil karangan ayahnya untuk Hilde yang berulang tahun ke-15. Maka tak heran jika dalam penjelasan filsafatnya, Alberto dan Sophie seringkali dihadapkan oleh tokoh-tokoh cerita lainnya seperti winnie the pooh, gadis penjual korek api dan lain-lain. Itu karena Sophie bukanlah realitas yang sebenarnya. Sophie hanya berada dalam dunia ide. Dunia yang sebenarnya adalah kisah Hilde Moller Knag.
Sesungguhnya novel ini adalah novel sejarah. Karena Gaarder dengan ringkas menuliskan sejarah filsafat dari awal perkembangannya hingga bagaimana keadaan di zaman sekarang. Ia bercerita tentang tokoh-tokoh filsafat mulai dari filosof alam, Plato, Descartes, Kant hingga Freud. Gaarder juga menjelaskan situasi di Athena, abad pertengahan, renaisans, zaman barok hingga zaman ini. Semua terangkum dan disajikan dengan renyah oleh Gaarder. Bahasa yang digunakan pun mudah dicerna. Dapat dikatakan buku ini menjadi buku sunnah yang wajib bagi pemula, ‘Philosophy For Beginner’.
Senin, 29 Desember 2008
Gender
Apa yang terlintas dalam benak anda ketika disebutkan kata gender? Kebanyakan dari kita akan berpikiran kata gender mengacu pada topik mengenai feminisme atau masalah sosial yang kerap terjadi pada perempuan. Hal tersebut memang saling berkaitan. Bahkan dalam buku Sistem Sosial Indonesia terbitan Universitas Terbuka dikatakan bahwa konsep gender muncul dari masalah yang berhubungan dengan feminisme dimana perempuan seringkali mendapatkan posisi yang termarjinalkan di masyarakat. Namun, ide dan konsep mengenai gender, sex, dan feminisme tetap harus dibedakan karena ketiga hal tersebut tentu memang sangat berbeda.
Konsep gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Stoller (1968) yang memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan fisik biologis. [1] Untuk mengawali, pertama akan saya antar kepada pemahaman yang lebih mudah mengenai konsep jenis kelamin. Bentuk pencirian manusia yang bersifat fisik biologis mengacu pada sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin seperti kita ketahui terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki. Setiap jenis kelamin tersebut memiliki ciri fisik biologis yang berbeda yang akan melekat hingga individu tersebut meninggal. Misalnya perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, sedangkan laki-laki memproduksi sperma merupakan hal yang tidak dapat diubah fungsinya dan terjadi secara universal karena tidak melihat suku, agama, ras ataupun latar belakang ekonomi.
Sedangkan konsep gender lebih mengacu pada hal yang bersifat sosial budaya. Maksudnya peran antara laki-laki dengan perempuan dibentuk berdasarkan keadaan sosial budaya tempat seseorang tinggal. Jika dahulu identik hanya laki-laki yang dapat menjadi polisi, kini perempuan juga dapat menjadi polwan. Atau jika urusan perempuan diidentikkan dengan dunia memasak atau dapur, kini banyak laki-laki yang justru pandai memasak. Contoh di atas merupakan bentuk gender. Kenapa dikatakan gender? Karena mengacu kepada peran antara kedua jenis kelamin manusia tersebut. Peran tersebut bersifat berubah-ubah setiap waktu dan tempat tergantung keadaan social budaya saat itu. Gender atau peran antara perempuan dan laki-laki tersebutlah yang menentukan apakah seseorang harus melakukan hal tertentu atau tidak bagi dirinya karena terdapat penilaian masyarakat yang membentuknya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sex atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Jenis kelamin tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku di mana saja, merupakan kodrat Tuhan. Sedangkan gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu dan budaya masyarakat, bukan kodrat Tuhan dan buatan manusia. Jadi kini dapat kita bedakan bahwa konsep gender jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin/sex.
Telah kita ketahui bahwa gender merupakan peran antara perempuan dan laki-laki yang terkonstruk sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat yang ada. Sosialisasi mengenai gender pun telah ada sejak individu dilahirkan hingga dewasa. Dalam hal ini, keluargalah yang menjadi media sosialisasi gender pertama bagi anaknya. Ketika masih balita, konstruk yang terdapat dalam masyarakat ialah anak perempuan bermain dengan boneka sedangkan anak laki-laki bermain dengan pistol. Ketika duduk di bangku dasar, dalam pelajaran bahasa Indonesia seringkali disebutkan bahwa ibu memasak di dapur dan ayah bekerja ke kantor. Contoh tersebut merupakan sosialisasi konsep yang membentuk anak memahami apa yang seharusnya perempuan atau laki-laki lakukan.
Sosialisasi konsep gender yang telah terbentuk dalam masyarakat tersebut membentuk perbedaan gender. Dalam masyarakat, perbedaan gender tersebut lalu berubah sifatnya atau dipahami seperti konsep fisik biologis yang sifatnya ajeg atau secara kodrati. Atau lebih jelasnya, perbedaan gender sudah merupakan kodrat antara laki-laki dan perempuan. Contohnya seperti apa yang harus dilakukan laki-laki lebih bersifat punlik sedangkan perempuan lebih bersifat domestik.
Perbedaan gender yang terbentuk akan berlangsung damai jika terdapat keadilan dalam masyarakat. Namun berbeda halnya jika terdapat ketidakadilan gender (inequality gender) yang bisa terjadi pada perempuan atau pun laki-laki. Hanya saja melihat pada kasus yang terjadi, ketidakadilan gender tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Hal inilah yang menurut saya justru memunculkan konsep feminisme. Dimana feminisme muncul setelah adanya ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender tersebutlah yang menjadi relevan dibahas sampai saat ini. Karena hingga kini kita masih bisa menemukan bagaimana konsep gender dan jenis kelamin seringkali dicampuradukkan. Maksudnya ketika berbicara mengenai peran perempuan yang misalnya tidak harus bersekolah, alas an yang seringkali dikedepankan adalah karena dia perempuan yang secara kodrati memang harus seperti itu atau karena pada akhirnya perempuan akan kembali bekerja di dapur mengurus masalah domestik. Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan gender yang mengorbankan perempuan sehingga menjadi termarjinalkan. Contoh di atas merupakan bentuk subordinasi bagi perempuan yang membentuk imej bahwa perempuan adalah second sexes.
Dalam hal ini, kita telah mengetahui bahwa masalah gender erat kaitannya dengan kondisi social budaya masyarakat. Maka untuk mengatasi ketidakadilan gender tersebut, analisis social budaya masyarakatlah yang tepat mengatasinya. Sehingga dapat dicari akar penyebab mengapa ketidakadilan gender tersebut dapat terjadi. Dan dapat didiskusikan bersama dalam masyarakat bagaimana solusi atas permasalahan yang terjadi.
[1] Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka. Hal 4.5