Jumat, 04 Februari 2011

SUBJEKTIVITAS WAKTU

Struktur bahasa selalu menempatkan waktu sebagai keterangan. Keterangan tentu saja menempatkan diri tidak sebagai subjek, objek, dan predikat. Itu berarti keterangan tidaklah terlalu penting jika sudah ada 3 elemen yang menyusun sebuah kalimat. Bahkan jika mengikuti kaidah bahasa yang baik, keterangan waktu dan tempat jarang ditempatkan di awal kalimat. Dalam hal ini, waktu termarjinalkan oleh struktur bahasa. Namun, dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (SDD), waktu menempati posisi sebagai subjek. Ia disejajarkan dengan eksistensi subjek yang sebelumnya telah ada.
Kumpulan puisi SDD berjudul Arloji. Arloji merupakan penunjuk waktu. Di sini waktu memainkan peran sebagai subjek yang hidup. Subjek yang menggerakkan subjek lainnya. Di sini waktu mencoba untuk bereksistensi. Waktu bukanlah hal yang lagi termarjinalkan dalam struktur bahasa. Waktu menempatkan diri sebagai subjek.
Marsinah buruh pabrik arloji,
Mengurus presisi:
Merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
Ia sangat cermat dan pasti.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Dalam puisi di atas, SDD mencoba untuk menampilkan waktu hampir sejajar dengan Marsinah. Pada awal sajak, SDD memang patuh pada pola struktur bahasa, menempatkan Marsinah sebagai subjek. Ia menjelaskan bahwa Marsinah adalah seorang buruh pabrik arloji. Lalu ia melanjutkan dengan menempatkan kata 'Mengurus' sebagai predikat. Sedangkan 'Presisi' sebagai objek. Tapi dua kalimat terakhir, SDD memunculkan eksistensi waktu. SDD seakan mengatakan bahwa waktu terus bergerak sebagai subjek, sedangkan Marsinah tenggelam sebagai objek dari waktu.
Pada sajak-sajak lanjutannya, SDD menuliskan :
Detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

                Dalam sajak itu jelas bahwa SDD telah memutlakkan waktu yang semakin dinamis. Waktu tetap berjalan. Sementara Marsinah berhenti dan mati. Tidak ada lagi subjek yang berpredikat objek. Karena subjek telah mati. Ketika subjek mati, muncullah subjek lain yang tidak pernah mati. Waktu. Namun, waktu terus bergulat dengan subjek yang menjadi lawannya sejak awal. Subjek yang memang seharusnya berperan sebagai subjek. Marsinah. Ketika Marsinah mati dan menjadi objek, ia sekaligus bangkit kembali menjadi subjek. Menggantikan subjektivitas waktu yang membunuhnya. Lagi-lagi, waktu dan Marsinah saling membunuh untuk eksistensinya sebagai subjek. Karena ketika subjek itu mati dan berperan sebagai objek, justru subjektivita dirinya semakin menguat.
                Marsinah bukanlah siapa-siapa ketika hanya menjadi buruh pabrik arloji. Ia hanya menjadi objek dari subjektivitas waktu. Tapi ketika ia mati, subjektivitas Marsinah menguat mengalahkan subjektivitas waktu.

Marsinah itu arloji sejati,
Melingkar di pergelangan
Tangan kita ini;
Dirabanya denyut nadi kita,
Dan diingatkannya
Agar belajar memahami
Hakikat presisi
(Dongeng Marsinah/SDD dalam buku kumpulan puisi Arloji)

Persepsi tentang Marsinah sebagai objek hanya hilang sebentar. Setelah itu, walaupun secara material Marsinah telah mati dan tidak ada sebagai subjek, subjektivitasnya muncul dalam pikiran-pikiran orang. Subjektivitas Marsinah seakan dihadirkan kembali melalui puisi SDD. Marsinar tidak benar-benar mati. Kehadirannya masih kita rasakan lewat puisi SDD. Eksistensinya sebagai subjek kembali menguat. Eksistensi Marsinar sebagai subjek pun akhirnya telah berhasil membunuh subjektivitas waktu. Waktu mati, dan kembali menempati posisinya sebagai keterangan. Baik dalam struktur bahasa maupun eksistensinya.

Minggu, 03 Januari 2010

Semesta Alam Membantumu Meraihnya!











Oleh : Khalisotussurur

Judul : The Alchemist

Penulis : Paulo Coelho

Penerjemah : Tanti Lesmana

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 8, Mei 2009

Halaman : 216; 20 cm

“Yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan...”

Hal itu yang dipikirkan Santiago, seorang anak laki-laki penggembala di Andalusia. Hasratnya berkelana, telah melawan keinginan ayahnya yang mengharapkan dirinya menjadi pastor. Namun, keingintahuannya tentang dunia lebih menarik perhatiannya daripada mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia (hlm 14).

Novel The Alchemist, justru tidak bercerita mengenai kehidupan seorang Alkemis atau Ahli Kimia yang berproses. Tapi menceritakan kehidupan seorang penggembala domba bersama takdirnya sendiri. Berbekal jaket, buku, dan anggur, ia menjamah padang-padang rumput se-Andalusia. Ia sering bercerita tentang buku-buku yang dibaca dan berkomentar tentang apa yang dilihat pada domba-dombanya. Ia yakin domba-domba itu mengerti perkataannya. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi tentang seorang anak kecil yang memegang tangannya dan memindahkannya ke Piramida di Mesir. Lalu anak itu berkata Santiago akan menemukan harta karunnya di sana. Mimpi itu datang berturut-turut selama dua kali.

Dalam perjalanannya menemukan harta karun, ia mengalami banyak kejadian. Berawal dari kedatangannya ke tempat Peramal Gipsi untuk menafsirkan mimpinya. Peramal tersebut meminta sepersepuluh hartanya jika berhasil ditemukan. Berlanjut pada pertemuannya dengan seorang Raja Salem, Malkisedek. Raja tersebut mengajarkan pada anak itu untuk pandai-pandai membaca pertanda. Karena raja itu meyakini ketika seseorang menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu meraihnya. Lalu raja itu meminta sepersepuluh dombanya. Banyak hal yang menarik antara percakapan antara anak laki-laki dan raja Salem.

Pertemuannya dengan raja itu meyakinkannya untuk terus mengejar impiannya. Ia pun pergi ke Afrika sebagai persinggahan menuju Mesir. Bermodal uang hasil penjualan domba dan batu urim dan tumim pemberian Raja Salem. Walaupun ia telah menjamah Andalusia, Afrika belum bersahabat bagi orang asing sepertinya. Anak itu kecopetan. Dan akhirnya ia bekerja pada seorang pemilik toko kristal yang sepi pelanggan.

Setelah kedatangannya, kepintarannya membaca pertanda membuat toko kristal itu berkembang. Di sela perbicangannya, ternyata pemilik toko kristal itu juga memiliki impian yang sama untuk pergi ke suatu tempat. Pemilik toko kristal itu ingin pergi ke Mekah untuk beribadah. Hanya saja dengan kesuksesan yang didapatnya, ia memilih untuk tetap tinggal di Afrika. Yang menahannya bukan karena harta. Tapi ia sengaja membiarkan impiannya tak diraih, untuk menjadi alasannya baginya untuk terus bertahan hidup.

Sementara, anak laki-laki itu mengambil keputusan untuk ke Mesir. Karena kapan pun ia dapat kembali ke Andalusia dan menjadi gembala. Tapi ketika keputusannya diambil, ia seperti masuk ke dalam arus sungai yang deras. Tak tahu apa yang akan terjadi di depannya. Untuk tiba di Mesir, ia harus melewati padang Sahara yang luas. Apalagi perang antar suku juga sedang bergejolak di Mesir.

Dalam perjalanan menyusuri padang Sahara, anak laki-laki itu berkenalan dengan seorang Inggris. Orang Inggris itu ingin bertemu dengan sang Alkemis yang tahu cara mengubah semua jenis logam menjadi emas. Emas itu disebut batu filsuf dan ramuannya disebut ramuan kehidupan. Mereka juga banyak bercakap mengenai pertanda dan bahasa universal.

Ketika mereka tiba di oasis Al-Fayoum, anak laki-laki itu menanyakan keberadaan Sang Alkemis pada seorang gadis, Fatima. Dari situlah tumbuh cinta antara mereka berdua. Ketika itu pula, anak laki-laki itu kehilangan hasrat untuk berkelana. Ia ingin menetap di satu tempat bersama gadis gurun itu. Namun Fatima menyadari, setiap laki-laki pasti mempunyai impian yang ingin dicapainya. Ia pun merelakan kepergian anak laki-laki itu. Dan memilih seperti gadis gurun lainnya yang setia menunggu lelakinya.

Maka anak laki-laki itu pun pergi bersama Sang Alkemis menuju tempat di mana harta karunnya berada. Walaupun perang antar suku berkecamuk, mereka tetap maju melawan ganasnya padang pasir. Dalam perjalanananny bersama Sang Alkemis, anak laki-laki itu semakin mengerti gunanya memahami pertanda. Dan menemukan harta karunnya sendiri.

Novel ini memiliki struktur penceritaan yang sederhana. Pembaca tidak harus mengerutkan kening mengikuti alurnya. Tapi harus baik-baik mencerna seretan kalimat yang sarat dengan logika bermakna dari balik percakapannya. Gaya bahasanya inspiratif, tidak bertele-tele, dan tidak hiperdeskriptif. Sehingga pembaca tidak lelah mengikuti jalan cerita sampai akhir. Yang menarik, Paulo hanya sekali menyebutkan nama tokoh utamanya pada bagian awal cerita. Selebihnya ia menyebut Santiago dengan ‘anak laki-laki’.

Kelebihan paulo dalam mengarang novelnya terletak pada imajinasinya yang bebas. Ia tidak terjebak pada permainan logika. Sebagai contoh dalam ceritanya, terdapat seorang raja yang selalu berada di dekat orang-orang yang berusaha meuwjudkan impiannya. Ia dapat menjadi apa saja. Seperti menjadi batu atau benda apa pun. Selain itu, adegan ketika anak laki-laki itu berbicara dengan padang pasir, angin, dan matahari untuk mengubah dirinya menjadi angin, merupakan bukti Paulo pandai memainkan seluruh elemen dalam novelnya untuk mencapai tahap klimaks.

Sang Alkemis terbagi 3 bagian. Pertama, kehidupan Santiago sebagai penggembala dan perjalanannya menuju Mesir. Kedua, pencarian harta karunnya bersama Sang Alkemis. Bagian terakhir berupa epilog sebagai penutup dari novel ini. Membacanya, kita dihadapkan pada potongan cerita yang sebenarnya juga terjadi pada kita namun tak disadari. Seperti ketakutan akan perubahan ataupun penghentian langkah kita terhadap impian yang sebenarnya bisa kapan saja diwujudkan.

Minggu, 30 Agustus 2009

REFLEKSI KEHIDUPAN DALAM DUNIA SOPHIE




oleh : Khalisotussurur

JUDUL : DUNIA SOPHIE
PENULIS : JOSTEIN GAARDER
PENERJEMAH : RAHMANI ASTUTI
PENYUNTING : YULIANI LIPUTO
CETAKAN : MEI 2004
PENERBIT : MIZAN PUSTAKA
TEBAL : 561 HALAMAN

Novel ini mengisahkan tentang seorang gadis muda yang mendapatkan pelajaran filsafat dari guru filosof misteriusnya. Sophie Amundsend, baru saja pulang sekolah, ketika ia menemukan surat misterius. Surat tanpa nama pengirim itu sama misteriusnya dengan isi surat tersebut. ‘Siapakah kamu?’. Pertanyaan tersebut menggugah hati Sophie. Pertanyaan mendasar yang mungkin jarang terpikirkan oleh semua orang termasuk dirinya.

Bersamaan dengan surat-surat yang dikirimkan pengirim misterius tersebut, Sophie mendapatkan surat lain yang ditujukan untuk Hilde Moller Knag. Namun, surat tersebut memang sengaja dikirim melalui Sophie. Surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde ke-15 itu berasal dari ayahnya. Pada surat itu tertempel perangko Norwegia yang dicap pos Batalyon PBB. Anehnya, ultah Hilde bertepatan sebulan sebelum ulang tahun Sophie. Keanehan lain terus terjadi pada Sophie setelah mendapatkan surat misterius tersebut. Tapi justru dari situlah Sophie muali mendapatkan pelajaran filsafatnya.

Memeriksa kotak surat akhirnya menjadi rutinitas Sophie. Suatu hari, ia menemukan satu amplop besar yang bagian belakangnya bertuliskan ‘Pelajaran Filsafat. Hati-hati’. Rasa penasarannya memuncak. Saat itulah filosof misterius menjelaskan maksudnya untuk memberikan Sophie pelajaran filsafat.

Melalui pertanyaan, filosof itu diam-diam mengantarkan Sophie pada pelajaran filsafat. ‘Tidak adakah sesuatu yang memikat hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang-tidak soal siapa mereka atau di mana mereka tinggal di di dunia ini? Ya, Sophie sayang, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Dan itulah masalah-masalah yang dibahas dalam pelajaran ini’.

Rangkaian kalimat dalam surat itu membuat Sophie memutar otak. Kini ia baru menyadari ada hal-hal yang lebih penting dari yang sekedar dipelajarinya di sekolah. Filosof itu pun secara rutin mengirimkaan Sophie surat yang berisi berlembar-lembar kertas pelajaran filsafat. Ia memulainya dengan menjelaskan pada Sophie bahwa yang dibutuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu.

Novel ini terbagi tiga bagian. Pertama saat Alberto Knox mulai mengirimkan pelajaran filsafatnya pada Sophie melalui surat. Kedua, Sophie bertemu dengan Alberto dan melanjutkan pelajaran filsafatnya melalui pertemuan diskusi. Dan ketiga, ketika Hilde muncul dan mulai membaca novel karangan ayahnya, Dunia Sophie.

Gaarder membuat alur yang sangat menarik dalam novel ini. Mengambil ide Plato tentang ‘Mitos Gua’, Gaarder menyajikan novel ini dengan memutarbalikkan realitas. Pada awal penjelasannya, sang guru filsafat, Alberto Knox sempat menerangkan sebuah mitos tentang beberapa orang yang tinggal di dalam gua bawah tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan kaki terkekang. Maka dari itu mereka hanya dapat memandang ke dinding gua.

Sementara di belakang mereka ada api unggun, muncul bayangan dari orang-orang yang melewatinya. Satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua tersebut hanyalah refleksi dari bayangan tersebut. Karena telah dalam posisi tersebut sejak dilahirkan, maka mereka mengira hanya bayang-bayang itu yang ada.

Gaarder lalu meminta untuk membayangkan, jika salah satu dari penghuni gua mencoba melepaskan ikatan kekang kaki mereka. Dia akan berbalik dan melihat cahaya yang terang. Lalu mulai terpesona melihat benda-benda di luar gua. Karena untuk pertama dirinya melihat warna-warni dan berbagai bentuk benda dengan jelas. Dia dapat melihat bunga dan hewan sungguhan. Dan mempertanyakan dari mana semuanya berasal. Dia melihat bagaimana matahari dapat menerangi semuanya. Hal tersebut sama dengan ketika ia melihat bayangan dari dalam gua akibat refleksi cahaya api. Penghuni gua itu gembira telah menemukan kebebasannya.

Tapi ia teringat teman-temannya yang masih terjebak di dalam gua. Ia masuk ke dalam dan menceritakan bayang-bayang di dinding merupakan refleksi dari benda-benda yang sebenarnya. Tapi penghuni gua yang lain tidak mempercayainya dan membunuhnya.

Melalui sudut pandang itulah Gaarder menceritakan ‘Dunia Sophie’. Awalnya Sophie diangkat sebagai tokoh nyata. Ia mendapatkan keanehan-keanehan sejak mendapatkan surat dari guru filsafat misteriusnya, Alberto. Dalam hal ini, jika dianalogikan, sebenarnya Sophie hanyalah refleksi bayang-bayang dari api unggun tersebut.

Pada pertengahan novel, Gaarder mulai menyadarkan pembaca bahwa Sophie dan ‘dunianya’ hanyalah kado hasil karangan ayahnya untuk Hilde yang berulang tahun ke-15. Maka tak heran jika dalam penjelasan filsafatnya, Alberto dan Sophie seringkali dihadapkan oleh tokoh-tokoh cerita lainnya seperti winnie the pooh, gadis penjual korek api dan lain-lain. Itu karena Sophie bukanlah realitas yang sebenarnya. Sophie hanya berada dalam dunia ide. Dunia yang sebenarnya adalah kisah Hilde Moller Knag.

Sesungguhnya novel ini adalah novel sejarah. Karena Gaarder dengan ringkas menuliskan sejarah filsafat dari awal perkembangannya hingga bagaimana keadaan di zaman sekarang. Ia bercerita tentang tokoh-tokoh filsafat mulai dari filosof alam, Plato, Descartes, Kant hingga Freud. Gaarder juga menjelaskan situasi di Athena, abad pertengahan, renaisans, zaman barok hingga zaman ini. Semua terangkum dan disajikan dengan renyah oleh Gaarder. Bahasa yang digunakan pun mudah dicerna. Dapat dikatakan buku ini menjadi buku sunnah yang wajib bagi pemula, ‘Philosophy For Beginner’.

Senin, 29 Desember 2008

Gender


Apa yang terlintas dalam benak anda ketika disebutkan kata gender? Kebanyakan dari kita akan berpikiran kata gender mengacu pada topik mengenai feminisme atau masalah sosial yang kerap terjadi pada perempuan. Hal tersebut memang saling berkaitan. Bahkan dalam buku Sistem Sosial Indonesia terbitan Universitas Terbuka dikatakan bahwa konsep gender muncul dari masalah yang berhubungan dengan feminisme dimana perempuan seringkali mendapatkan posisi yang termarjinalkan di masyarakat. Namun, ide dan konsep mengenai gender, sex, dan feminisme tetap harus dibedakan karena ketiga hal tersebut tentu memang sangat berbeda.

Konsep gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Stoller (1968) yang memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan fisik biologis. [1] Untuk mengawali, pertama akan saya antar kepada pemahaman yang lebih mudah mengenai konsep jenis kelamin. Bentuk pencirian manusia yang bersifat fisik biologis mengacu pada sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin seperti kita ketahui terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki. Setiap jenis kelamin tersebut memiliki ciri fisik biologis yang berbeda yang akan melekat hingga individu tersebut meninggal. Misalnya perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, sedangkan laki-laki memproduksi sperma merupakan hal yang tidak dapat diubah fungsinya dan terjadi secara universal karena tidak melihat suku, agama, ras ataupun latar belakang ekonomi.

Sedangkan konsep gender lebih mengacu pada hal yang bersifat sosial budaya. Maksudnya peran antara laki-laki dengan perempuan dibentuk berdasarkan keadaan sosial budaya tempat seseorang tinggal. Jika dahulu identik hanya laki-laki yang dapat menjadi polisi, kini perempuan juga dapat menjadi polwan. Atau jika urusan perempuan diidentikkan dengan dunia memasak atau dapur, kini banyak laki-laki yang justru pandai memasak. Contoh di atas merupakan bentuk gender. Kenapa dikatakan gender? Karena mengacu kepada peran antara kedua jenis kelamin manusia tersebut. Peran tersebut bersifat berubah-ubah setiap waktu dan tempat tergantung keadaan social budaya saat itu. Gender atau peran antara perempuan dan laki-laki tersebutlah yang menentukan apakah seseorang harus melakukan hal tertentu atau tidak bagi dirinya karena terdapat penilaian masyarakat yang membentuknya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sex atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Jenis kelamin tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku di mana saja, merupakan kodrat Tuhan. Sedangkan gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu dan budaya masyarakat, bukan kodrat Tuhan dan buatan manusia. Jadi kini dapat kita bedakan bahwa konsep gender jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin/sex.

Telah kita ketahui bahwa gender merupakan peran antara perempuan dan laki-laki yang terkonstruk sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat yang ada. Sosialisasi mengenai gender pun telah ada sejak individu dilahirkan hingga dewasa. Dalam hal ini, keluargalah yang menjadi media sosialisasi gender pertama bagi anaknya. Ketika masih balita, konstruk yang terdapat dalam masyarakat ialah anak perempuan bermain dengan boneka sedangkan anak laki-laki bermain dengan pistol. Ketika duduk di bangku dasar, dalam pelajaran bahasa Indonesia seringkali disebutkan bahwa ibu memasak di dapur dan ayah bekerja ke kantor. Contoh tersebut merupakan sosialisasi konsep yang membentuk anak memahami apa yang seharusnya perempuan atau laki-laki lakukan.

Sosialisasi konsep gender yang telah terbentuk dalam masyarakat tersebut membentuk perbedaan gender. Dalam masyarakat, perbedaan gender tersebut lalu berubah sifatnya atau dipahami seperti konsep fisik biologis yang sifatnya ajeg atau secara kodrati. Atau lebih jelasnya, perbedaan gender sudah merupakan kodrat antara laki-laki dan perempuan. Contohnya seperti apa yang harus dilakukan laki-laki lebih bersifat punlik sedangkan perempuan lebih bersifat domestik.

Perbedaan gender yang terbentuk akan berlangsung damai jika terdapat keadilan dalam masyarakat. Namun berbeda halnya jika terdapat ketidakadilan gender (inequality gender) yang bisa terjadi pada perempuan atau pun laki-laki. Hanya saja melihat pada kasus yang terjadi, ketidakadilan gender tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Hal inilah yang menurut saya justru memunculkan konsep feminisme. Dimana feminisme muncul setelah adanya ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender tersebutlah yang menjadi relevan dibahas sampai saat ini. Karena hingga kini kita masih bisa menemukan bagaimana konsep gender dan jenis kelamin seringkali dicampuradukkan. Maksudnya ketika berbicara mengenai peran perempuan yang misalnya tidak harus bersekolah, alas an yang seringkali dikedepankan adalah karena dia perempuan yang secara kodrati memang harus seperti itu atau karena pada akhirnya perempuan akan kembali bekerja di dapur mengurus masalah domestik. Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan gender yang mengorbankan perempuan sehingga menjadi termarjinalkan. Contoh di atas merupakan bentuk subordinasi bagi perempuan yang membentuk imej bahwa perempuan adalah second sexes.

Dalam hal ini, kita telah mengetahui bahwa masalah gender erat kaitannya dengan kondisi social budaya masyarakat. Maka untuk mengatasi ketidakadilan gender tersebut, analisis social budaya masyarakatlah yang tepat mengatasinya. Sehingga dapat dicari akar penyebab mengapa ketidakadilan gender tersebut dapat terjadi. Dan dapat didiskusikan bersama dalam masyarakat bagaimana solusi atas permasalahan yang terjadi.

[1] Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka. Hal 4.5

Sabtu, 21 Juni 2008

Pilkada Jalan Menuju Demokrasi

Oleh : Khalisotussurur

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut system demokrasi. Oleh karena itu pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada bagian-bagian daerahnya untuk dapat memilih juga calon kepala daerah mereka secara langsung seperti pada pemilihan eksekutif dan legislatif negara dalam pilkada. Selain itu, nantinya kepala daerah tersebut akan diberikan otonomi untuk mengatur segala urusan daerahnya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh negara. Namun, factor-faktor apa saja yang dapat menyukseskan pilkada 2007-2008? Mengapa partisipasi pemilih rendah? Apa kendala calon kepala daerah serta bagaimana mengatasi konflik yang ada? Bagaimana latar belakang pendidikan calon kepala daerah dan pemilih? Dan, kenapa banyak masyarakat yang memilih golput?

Berdasarkan kuliah system politik Indonesia yang penulis dapatkan, dapat dianalisis bahwa faktor-faktor yang dapat menyukseskan pilkada 2007-2008 adalah adanya dukungan dari berbagai pihak terkait seperti pemerintah yang memberikan fasilitas dalam proses pilkada, calon kepala daerah yang melakukan persyaratan untuk menjadi calon sesuai dengan prosedur, dan tentunya masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pilkada yang dilangsungkan. Berbagai pihak terkait tersebut saling mendukung akan keberlangsungan pilkada sehingga dapat terwujud pilkada yang sukes. Suksesnya pilkada juga bisa disebabkan oleh sosialisasi mengenai pilkada pada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam pilkada dan mewujudkan perubahan lebih baik ke arah positif bagi daerahnya.

Partisipasi pemilih rendah pada pilkada dikarenakan Indonesia memilki tingkat pendidikan yang belum merata sehingga terdapat perbedaan kualitas pendidikan dan wawasan mengenai pentingnya partisipasi politik. Kualitas dan wawasan mengenai politik yang rendah membuat kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengikuti pilkada. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat Indonesia juga belum merata, sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah lebih memilih untuk bekerja yang dapat menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari daripada harus menggunakan hak pilihnya dalam pilkada yang belum tentu dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik lagi.
Tidak hanya itu, akses masyarakat terhadap komunikasi politik mengenai politik juga relatif tidak merata karena belum meratanya media komunikasi terutama di pelosok desa. Sedangkan media komunikasi dan informasi yang dapat dijangkau masyarakat kebanyakan hanya mengandung unsure hiburan dan minat masyarakat mengenai politik masih kurang.
Namun, terdapat fenomena unik yang ditemukan ketika pilkada di Jawa Barat. Ditemui penulis, salah satu saksi mengaku menjadi saksi suatu partai dalam pilkada bukan karena dia berasal dari partai atau calon yang bersangkutan, melainkan berasal dari masyarakat sipil biasa yang dibayar oleh partai calon kepala daerah untuk menjadi saksi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat dan kesadaran partisipasi politik yang rendah. Karena partisipasi yang dilakukan bukan karena kesadaran sendiri melainkan karena factor materi yang diberikan oleh partai yang menjadi calon dalam pilkada.
Namun, hal tersebut merupakan factor yang dapat membangkitkan partisipasi politik masyarakat. Contoh seperti yang disebutkan di atas merupakan bentuk partisipasi politik yang menurut Samuel P. Huntington dan Juan Nelson dalam buku “Sistem Politik Indonesia” karangan Toto Pribadi (Universitas Terbuka) termasuk ke dalam partisipasi politik dimobilisasi, karena seseorang atau kelompok yang bertindak politik karena factor dorongan pihak di luar dirinya.

Kendala calon kepala daerah dalam pilkada adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi politik dan kurang meratanya tingkat pendidikan masyarakat. Namun, kurangnya kesadaraan masyarakat seringkali dimanfaatkan oleh calon kepala daerah untuk memobilisasi massa agar memilih calon kepala daerah, misalnya dengan memberikan uang. Kendala lain calon kepala derah yaitu adanya konflik ketika calon kepala daerah melakukan kampanye untuk mensosialisasilan visi dan misi dirinya kepada masyarakat. Konflik tersebut bisa berupa kerusuhan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mungkin ingin mengacaukan kampanye calon lain agar terlihat tidak kondusif dan professional.
Cara mengatasi konflik yang terjadi yaitu berupa penambahan aparat keamanan untuk mencegah dan meredam terjadinya konflik. Sedangkan jika konflik yang terjadi adalah konflik internal karena adanya fusi atau penggabungan partai politik, yang bisa dilakukan adalah dengan cara bermusyawarah sehingga dapat menemukan solusi tanpa merugikan salah satu pihak dari partai atau pelaku politik yang bersangkutan.

Latar belakang pendidikan calon kepala daerah relatif berasal dari orang-orang yang berpendidikan bahkan dari artis yang sebelumnya sudah dikenal di kalangan masyarakat. Calon kepala daerah biasanya diambil dari kader partai yang dipilih oleh partainya maupun masyarakat sipil yang berpotensi untuk memimpin suatu daerah dan diangkat menjadi calon kepala daerah dari suatu partai. Sedangkan latar belakang pemilih beragam, mulai dari orang yang mengerti politik seperti pejabat, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat yang sama sekali sekali awam dengan persoalan politik. Latar belakang pemilih dapat dilihat dari segi pendidikan yang berkembang di suatu daerah yang mengadakan pilkada. Semakin merata tingkat pendidikan, pengetahuan dan wawasan politik semakin tersosialisasikan.

Sedangkan banyaknya masyarakat yang memilih golput dikarenakan sikap tidak peduli masyarakat yang pesimis akan terjadinya perubahan yang signifikan yang dirasakan masyarakat. Sehingga, seperti yang telah disampaikan sebelumnya masyarakat menjadi lebih cenderung untuk bekerja daripada berpartisipasi dalam politik yang tidak dapat menghasilkan materi. Selain itu, disebabkan rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada calon-calon kepala daerah yang ada akan bisa mengubah daerahnya ke arah yang lebih maju merupakan penyebab dari masyarakat yang memilih golput.

Jumat, 06 Juni 2008

Book Review of "Jejak Kafilah"

Oleh: Khalisotussurur
Judul : Jejak Kafilah ; Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
Pengarang : Greg Fealy dan Anthony Bubalo
Penerbit : Mizan
Tahun terbit : 2007
Jumlah halaman : 202

Buku Jejak Kafilah memaparkan mengenai Timur Tengah yang mengalami evolusi gagasan-gagasan yang terefleksi ke negara-negara Islam lain-contohnya Indonesia-yang berkaca kepada Timur Tengah sebagai model ideal bagi sebuah perkembangan ideologi dan mengalami pribumisasi dan radikalisme dalam proses penerimaannya. Buku Jejak Kafilah ini, selain disajikan untuk literature kepentingan akademis juga diharapkan dapat memberi masukan bagi para penentu kebijakan dalam menanggapi fenomena Islamis dari segi penyebaran ide-ide hingga peran partai Islamis dalam proses demokratisasi. Dalam buku Jejak Kafilah digambarkan konsep Islam yang diterapkan dalam politik dan masyarakat berupa bentuk-bentuk aktivisme yang berasal dari arus utama Islamisme di Timur Tengah.

Awal evolusi pemikiran di Timur Tengah dimulai dari sejumlah persepsi kelompok Islam yang menganggap umat Islam sebagai kawan seperjalanan dalam sebuah kafilah fundamentalis global. Dampaknya memunculkan bentuk aktivisme lintas negara yang disebut gerakan salafi atau neofundamentalis yang mengupayakan pemurnian Islam. Neofundamentalisme tersebut, ternyata juga memiliki sifat yang ultra radikal. Misalnya Al Qaeda yang bermaksud mempertahankan posisi umat Islam dunia dengan melakukan berbagai aksi terror kepada pihak yang menganggap mereka sebagai musuh yaitu Amerika Serikat dan Barat. Terefleksinya gagasan-gagasan dari Timur Tengah ke Indonesia, salah satu penyebabnya yakni dibawa oleh kelompok Jihad Indonesia yang pergi ke Afganistan dan menjalin jaringan dengan pemimpin dan aktivis Al Qaeda yang menjadi penyebab munculnya Jamaah Islamiyah di Indonesia. Namun, kelompok Neofundamentalis dan Islamis Indonesia tetap bersikap selektif dalam menerapkan gagasan dari Timur Tengah di Indonesia.

Pada permulaan, ada baiknya jika mengenal terlebih dulu mengenai ide-ide para figure Islam yang diawali ketika Islam semakin mengalami kemunduran. Islamisme lahir sebagai bentuk pembaruan Islam yang menggerakkan perkembangan sejarah Islam. Dalam Islam, terdapat aturan yang menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat, dari cara pemerintahan, pendidikan, system hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Sedangkan Islamisme lebih merupakan upaya untuk menegaskan kembali pesan-pesan politik, social, ekonomi yang diperjuangkan kalangan Islamis, dan ide-ide yang berkembang dan berubah sepanjang masa yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Berikut ini adalah dua gerakan revivalis bagi perkembangan Islamisme di Timur Tengah. Pertama, gerakan pada abad ke-18 yang dipimpin Muhammad Ibnu Abdul Al Wahab (1703-1787) mengenai pemurnian Islam yang dinilai telah ternoda tradisi pra Islam di Arabia Tengah berupa bid’ah, taklid, dan penyembahan berhala. Gerakan yang dipimpin Al Wahab ini disebut Wahabisme yang menekankan ajaran monoteisme (tauhid) dan pengkajian terhadap Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad.

Kedua, gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang dipimpin oleh tiga pemikir : Jamal Al-Din Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). Menurut mereka, di tengah kemunduran Dunia Islam yang tertandingi oleh kemajuan Barat di segala bidang, umat Islam Islam harus dapat memahami dan hidup sesuai hakikat sejati Islam untuk melawan tantangan eksternal dan berkaca pada masa lalu dan para pendahulu yang saleh. Gerakan mereka disebut Salafiyah.

Di dalam perjalanan aktivisme Salafiyah seringkali terjadi saling menuding terhadap kelompok Salafiyah lain bahwa terjadi bid’ah atau penambahan praktik dalam Islam. Dalam buku Jejak Kafilah tidak dijelaskan secara rinci mengenai kaum Salafiyah di Timur Tengah yang terbagi menjadi beberapa kelompok. [1]Dalam buku “Arus Baru Islam Radikal” (M. Imdadun Rahmat, 2005), dipaparkan bahwa kaum Salafiyah terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama, kelompok Salafiyah politik yang lebih memfokuskan diri pada persoalan-persoalan politik daripada akidah, disebut sebagai Salafiyyun Sururiyyun. Kedua, Salafiyyun Al-Albaniyun yang mengikuti Syaikh Al Muhaddis Nasiruddin Al-Albani. Mereka memerangi fanatisme mazhab fikih, dan menolak taklid atau fanatisme terhadap ahli fiqih, sekalipun oleh kalangan awam. Padahal mereka justru mentaklid semua pendapat Syaikh Nasiruddin Al-Albani dan menjadikannya sebagai mazhab kelima. Ketiga, kelompok Salafiyun Aljamiyun. Tokohnya adalah Syeikh Rabi’ Al-Madkhali, kelompok ini sering menyalahkan dan menyerang semua ulama yang bertentangan dengan mereka, seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, dan Yusuf Al-Qaradhawi.

Terpengaruh oleh gerakan Salafiyah, lahirlah gerakan Islamis Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir 1928 oleh Hasan Al-Banna. Menurut Al Banna kemunduran dunia Islam salah satunya ditunjukkan oleh keruntuhan Kekhalifahan Usmani pada 1924 dan pemecatan Kerajaan Usmani oleh kekuatan Barat. Tantangan dari Barat yang dihadapi dunia Islam tidak hanya sekedar fisik, tetapi juga intelektual dan spiritual seperti ide-ide sekuler Barat. Al-Banna bereaksi terhadap tantangan Barat tidak dengan membangkitkan kembali Islam dengan kekuatan ide-ide dan aktivisme individual, melainkan dengan pembentukan negara Islam sebagai bentuk upaya Islamisasi di masyarakat. Unit dasar organisasi Ikhwanul Muslimin adalah berupa beberapa anggota yang dianggap sebagai keluarga yang diperkuat oleh loyalitas kelompok dan setiap unit keluarga berperan dalam pendidikan (tarbiyah) dan pengkaderan (dakwah). Tidak hanya pada pendidikan semata-mata, para ikhwan juga terlibat dalam kesejahteraan social dan kegiatan ekonomi serta kegiatan politik. Menurut pemikiran ikhwanul muslimin, syariat memerlukan sebuah negara untuk memperkuatnya untuk mereformasi masyarakatnya secara terikat pada kekuasaan untuk memerintah. Pada 1940-an ikhwanul muslimin mendirikan cabang-cabangnya di seluruh dunia Arab, seperti Yordania, Suriah, Palestina, Kuwait, Sudan, dan Yaman.

Masih menyangkut mengenai Islamisme. Kata yang sering dikaitkan dengan Islamisme adalah jihad. Makna jihad pun sering mengalami perdebatan. Jihad terbagi dua, yaitu jihad besar dan jihad kecil. Jihad besar adalah perjuangan personal menuju kehidupan spiritual yang sempurna, sedangkan jihad kecil lebih mengacu pada segala sesuatu yang esensial dari dakwah hingga perang suci. Namun penulis buku Jejak Kafilah melihat bahwa jihad yang digambarkan selama abad lalu di Mesir dan negara-negara di Timur Tengah, diartikan sebagai perjuangan bersenjata melawan penguasa yang zalim. Jihad tersebut tidak hanya difokuskan pada konflik internal di kalangan komunitas muslim, tetapi juga pembelaan umat Islam melawan musuh luar, Uni Soviet di Afganistan dan Israel di Palestina.

Invasi Soviet ke Afganistan pada 1979 merupakan pendorong evolusi Islamisme. Khusunya bagi Arab Saudi yang mempunyai kesempatan untuk melawan musuh ideology utamanya, komunisme. Arab Saudi juga meberikan dukungan materiilnya sebagai bentuk jihad untuk mempertahankan martabat keislamannya. Selain itu, Arab Saudi juga bisa mengalihkan energi kelompok radikal ke Afganistan. Para jihadis asing yang terlibat dalam perang di Afganistan meninggalkan profesi lamanya dan menggunakan waktu mereka di Afganistan untuk latihan militer, indoktrinasi, dan pembentukan jaringan internasional.

Salah satu tokoh ikhwanul muslimin, Abdullah Azzam, seorang ikhwan Palestina-Yordania yang menjadi figure sentral dalam lingkaran kelompok pejuang jihadis asing di Afganistan mempunyai peranan penting dalam melatih dan menyebarkan pejuang asing. Azzam berpendapat, bahwa tanah-tanah umat Islam “laksana satu tanah” dan karena itu seluruh muslim berkewajiban melakukan pembelaan atas setiap bagian itu. Azzam menganggap jihad melawan Soviet sebagai fadhu Ain. Padahal ulama Saudi yang menyediakan dukungan materiil dan spiritual untuk jihad mendefinisikan jihad sebagai fardhu kifayah. Azzam menganggap kewajiban jihad tidak berakhir dengan kemenangan atas Societ di Afganistan, tetapi berlanjut sampai seluruh tanah Muslim telah dibebaskan dari Andalusia hingga Filipina.

Perjuangan jihad yang mendapat banyak perhatian dari dunia Islam termasuk Indonesia adalah Palestina. Pengarang buku Jejak kafilah menulis bahwa pada akhir 1980-an, perjuangan Palestina melawan Israel yang esensinya bersifat nasionalis diberi warna Islamis dengan masuknya Hamas. Hamas berkembang dari sekelompok anggota Ikhwanul Muslimin Palestina untuk ikut dalam pemberontakan atau intifadah melawan Israel yang dimulai 1987. Hamas menginginkan pembentukan negara Palestina atas seluruh wilayah yang meliputi mandat Palestina dengan penghapusan negara Israel. Bentuk tindakan Hamas yang khas dilakukan adalah dengan menggunakan bom bunuh diri melawan Israel, yang sering menimpa kalangan sipil.

Gagasan-gagasan evolusi Islamis juga terjadi di Mesir. Di Mesir, aktivisme ikhwan yang bertahap dan berorientasi pada keagamaan mulai melakukan pendekatan politik seperti pendirian partai politik, Hizb Al Wasat. Hizb Al Wasat berusaha mendaftarkan diri sebagai atai politik namun mendapatkan penolakan beberapa kali oleh pemerintah mesir.

Pemimpin Hizb Al Wasat dipengaruhi oleh ide-ide intelektual Mesir seperti Yusuf Al-Qaradhawi dan Kamal Abul Magd. Kelompok ini mendapat julukan Wasatiyah. Wasatiyah mengajukan ide tentang demokrasi Islam dan pandangan bahwa Islam sebagai peradaban menyediakan fondasi bagi yang inklusif (terbuka) dan pluralis. Hizb Al Wasat membedakan Islam sebagai agama dan Islam sebagai peradaban. Islam sebagai peradaban mencakup seluruh anggotanya baik muslim maupun non-muslim. Hal tersebut terbukti dengan masuknya 3 orang Kristen Mesir ke dalam keanggotaaan baru Partai.

Dalam perjalanannya, banyak kelompok Islamis yang merekonsiliasi diri mereka dengan aktivisme berbentuk nasionalis. Namun kelompok Islamis lain menggunakan kesempatan yang disediakan globalisasi untuk mencapai audiens internasional, yaitu Yusuf Al Qaradhawi dan Hizbut Tahrir. Al-Qaradhawi merupakan seorang figure Islamis yang berpengaruh karena pembahasannya merentang dari politik internasional hingga persoalan sehari-hari (seperti apakah menyanyi itu diharamkan). Al-Qaradhawi mengutuk terorisme Al Qaeda, tetapi membela hak-hak Hamas untuk melakukan serangan teroris melawan dan membela pemberontak di Irak untuk menyerang koalisi pimpinan Amerika Serikat.Al Qaradhawi juga mempromosikan demokrasi dengan merekonsiliasikannya dengan Islam dalam bentuk syura (musyawarah).

Kelompok Islamis lain yang menonjol dan mencakup audiens muslim global adalah Hizbut Tahrir (HT) yang. Didirikan pada 1953 oleh Syaikh Taqi Al-Din Al-Nabhani (1909-1977) sebagai cabang ikhwanul muslimin Palestina. Hizbut Tahrir bertujuan merestorasi khilafah Islam dan secara jelas mendukung tesis “benturan peradaban”. Tesis Benturan peradaban ditulis oleh professor Harvard, Samuel Huntington (1993), yang menyatakan bahwa konflik masa depan setelah berakhirnya perang dingin adalah berupa benturan budaya atau konflik yang terjadi antar peradaban.

Transmisi gagasan-gagasan Timur Tengah menemukan banyak jalan dan media yang mengantar arus utama berbagai pemikiran dan praktek dari Timur Tengah ke Indonesia. Dan dalam penerapannya orang Indonesia menggunakan cara-cara local yang berbeda dengan sebenarnya. Atau lebih tepatnya, gagasan-gagasan tersebut mengalami pribumisasi dalam penerapannya di Indonesia yang disesuaikan dengan situasi politik dan budaya yang terjadi di masyarakat.

Secara histories, vector utama transmisi pemikiran Timur Tengah ke Asia Tenggara adalah pedagang dan ulama Arab yang bepergian ke Asia Tenggara untuk menyebarkan pengetahuan Islam dan berdakwah di kalangan non-muslim. Selama beberapa abad, muslim Indonesia juga pergi ke Timur Tengah sebagai haji, pejabat, pedagang, pelajar, dan ulama, sehingga terdapat tradisi pemikiran yang kaya yang dipertukarkan.

Pelajar atau mahasiswa menjadi saluran yang penting bagi ide-ide Islamis dari Timur Tengah ke Indonesia. Mereka belajar di Mesir dan Arab Saudi berguru kepada ulama terkemuka dan meleburkan diri mereka dalam kebudayaan Islam yang autentik. Jumlahnya pun meningkat pesat karena beasiswa yang diberikan pemerintah Indonesia maupun tambahan bantuan finansial dari pemerintah-pemerintah Timur Tengah. Hal tersebut semakin memberi kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islamis dan mengenal ide-ide mereka. Lulusan-lulusan dari Timur Tengah yang telah pulang kembali ke Indonesia memungkinkan mereka mendirikan pesantren mereka sendiri di Indonesia.

Transmisi gagasan-gagasan dari Timur Tengah juga diorganisir oleh kelompok Islamis local di Indonesia. Sebagian besar orang Indonesia dikirim ke Afganistan oleh pendiri Jamaah Islamiyah (JI), Abdullah Sunkar. Organisasi lain seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI) juga membantu anggota dan simpatisannya pergi ke Afganistan. Hubungan yang terbentuk antara jihadis Indonesia dan Jihadis asing lainnya membentuk jaringan koneksi operasional antara kelompok Jamaah Islamiyah Indonesia dan Al Qaeda. Mereka yang pergi ke Afganistan mendapat peluang berlatih militer yang kemudian bisa dipraktekkan di negara asalnya. Selain latihan militer, mujahidin Indonesia juga memperoleh pendidikan agama dan ideology.

Lembaga-lembaga dari negara-negara Timur Tengah seperti Mesir dan Saudi sangat aktif bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah di Indonesia. Arab Saudi sangat berpengaruh terhadap penyebarluasan salafisme wahabi dengan bantuan materiil terhadap madrasah, masjid, pusat kebudayaan, dan rumah sakit yang menurut Saudi berguna untuk kepentingan umat Islam di seluruh dunia. Namun, bantuan Saudi yang diberikan cenderung kepada kelompok keagamaan yang lebih dekat kepada Wahabi, khusunya kelompok Salafi di Indonesia.

Lembaga utama pendidikan Islam di Indonesia yang disponsori Saudi adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang merupakan cabang dari Universitas Al Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi. Didirikan pada 1980, LIPIA mengkonsentrasikan perkuliahan dengan bahasa arab dan studi Islam berupa beasiswa studi pasca sarjana di Universitas Al Imam bagi yang berprestasi. LIPIA mengkombinasikan kurikulum Salafi dan orientasi khusus fakultasnya. Banyak tenaga pengajar LIPIA yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin. Para alumni LIPIA menjadi figure yang berpengaruh dalam gerakan salafi di Indonesia. Alumninya pun mendirikan pesantern yang mendapat bantuan dana dari Saudi, yang menjadi media penyebaran ide-ide Salafi. Sebagian alumninya yang menganut pemikiran ikhwanul muslimin menjadi pemimpin Partai Keadilan Sejahtera.

Penyebaran media cetak berupa buku, jurnal, pamflet, dan surat kabar yang menggambarkan pandangan-pandangan doctrinal dan politik yang beragam. Media cetak ini dalam bahasa arab dibaca sebagian kecil umat Islam asing yang mampu berbahasa arab. Namun ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa local seperti Melayu dan Jawa sehingga mempunyai cakupan pembaca yang luas. Di Indonesia, permintaan masyarakat terhadap buku-buku keislaman semakin meningkat. Tulisan maupun karya-karya tokoh berpengaruh di Timur Tengah seperti Yusuf Al Qaradhawi, Sayyid Qutb dan Hasan Al Banna banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Teknologi tak mau kalah dengan media cetak. Globalisasi yang terjadi telah mengalirkan arus informasi dari Timur Tengah ke Indonesia melalui internet yang bisa diakses cepat untuk mendapatkan beragam materi pengetahuan dari penjuru Dunia Islam. Internet menawarkan fasilitas kelompok Islam di Timur Tengah dan Indonesia untuk berhubungan langsung.

Jalannya arus transmisi dari Timur Tengah ke Indonesia masuk melalui berbagai media dan cara. Ide-ide evolusi pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh Timur Tengah semakin mendapat tempat akibat situasi politik local di Indonesia yang labil. Sehingga masyarakat berupaya mencari bentuk-bentuk ideal sebagai jawaban dari permasalahan mereka. Buktinya, pada tahun 1970-an dan 1980-an, gagasan dan teknik organisasi Ikhwanul Muslimin mulai mendapat pengikut yang cukup besar. Factor penyebab naiknya popularitas Ikwanul Muslimin di Indonesia terutama di kalangan muda muslim diawali kekecewaan terhadap perlakuan rezin Soeharto yang membatasi Islam dalam posisinya sebagai kekuatan politik independen. Pada saat yang sama, banyak pemimpin muslim ditarik masuk ke dalam jaringan patronasi Orde Baru. Namun mereka menyesuaikan diri dengan retorika sekuler sang rezim sebagai balas budi atas imbalan materiil yang mereka terima. Hal tersebut membuat kalangan muda merasa kecewa dan sulit untuk menemukan sosok pemimpin muslim berintegritas bagi perjuangan Islam. Karena itu, maka banyak kalangan muda muslim yang tertarik dengan organisasional ikhwanul muslimin yang menekankan pada kesalehan pribadi dan penyediaan layanan masyarakat.

Pada awal 1980-an ketika praktik penindasan Orde Baru terhadap Islam dan politik mahasiswa sedang gencar-gencarnya, rezim Orde Baru melarang organisasi mahasiswa dan mewajibkan penyelenggara Perguruan Tinggi memonitor semua aktivitas kampus. Karena sebab itu, mahasiswa muslim Indonesia mengadopsi model Ikhwanul Muslimin dengan membentuk ikatan-ikatan tertutup yang dikenal dengan Usrah. Ekspresi utama pemikiran Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Tarbiyah.

Cita-cita dan model aktivisme Hasan Al Banna menjadi batu pijakan pemikiran gerakan Tarbiyah, karena tulisan-tulisannya dianggap lebih dapat diterapkan di Indonesia daripada tulisan tokoh pemikir lain yang lebih radikal. Seperti halnya Al Banna, anggota Tarbiyah menganggap Islam dan negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi mereka tidak memandang pendirian negara Islam formal di Indonesia dalam waktu dekat sebagai hal yang mendesak atau mugkin dilakukan, karena negara Islam yang sehat akan sulit didirikan kecuali jika prinsip-prinsip dan hukum Islam dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat muslim.

Para aktivis Tarbiyah membentuk organisasi mahasiswa bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada April 1998. menyusul lengsernya Soeharto, pemimpin-pemimpin Tarbiyah mendirikan partai bernama Partai Keadilan (PK). Pada tahun 1999, partai ini mendapat 1,4 persen suara dengan tujuh kursi parlemen pusat. Dukungan terhadap partai ini dating dari kelompok Islam kampus dan sarjana-sarjana muda yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas Tarbiyah.

Pada tahun 2004, karena gagal memenuhi treshold sebesar 2 persen yang dibutuhkan untuk bisa menjadi kontestan pemilu, PK mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perolehan suara meningkat menjadi 7,3 persen dengan 45 kursi di parlemen yang beranggotakan 500 orang. Mayoritas pemilih baru partai ini pada pemilu 2004 nampak lebih tertarik pada pesan politiknya menyangkut pemerintahan yang bersih dan keadilan social daripada seruan Islamnya.

Dalam perjalanan politiknya, PKS melakukan rekrutmen anggota dari orang-orang yang berlatar belakang non tarbiyah. Pada tahun 2004, partai ini menjaring lebih dari 30 calon legislative non-muslm. Corak dari PKS yang jarang ditemukan pada partai-partai lain adalah fungsi layanan masyarakatnya, seperti pengadaan pertolongan darurat bagi korban kebakaran dan banjir, penyediaan klinik gigi dan medis yang bisa hadir di manapun. Kemunculan PKS menjadi perkembangan positif bagi demokrasi Indonesia yang menawarkan alternatif struktur oligarkis dan tidak autokratis seperti rezim Orde Baru.

Perkembangan Ikhwanul Muslimin di Indonesia memiliki kesamaan umum dengan kelompok Salafi. Hanya perbedaannya terletak pada kuantitas pengikutnya. Salafi memiliki kuantitas pengikut yang lebih sedikit apalagi jika dibandingkan dengan organisasi seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Kelompok Salafi berbasis pada institusi-institusi dakwah dan pendidikan. Gerakan Salafi yang terbesar adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah waljamaah (FKAWJ) dan kekuatan paramiliternya, Laskar Jihad (LJ). FKAWJ didirikan pada 1998 oleh sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar 60 guru dan da’i terkemuka Salafi dan dipimpin oleh seorang veteran perang Afganistan, Jafar Umar Thalib. Pada awal 2000, FKAWJ mendirikan Laskar Jihad, terutama untuk mempertahankan umat Islam yang menurut mereka telah diserang dan dibantai oleh orang-orang Kristen di Maluku. Namun pada Oktober 2002, FKAWJ dan Laskar Jihad membubarkan diri secara sukarela karena meningginya perselisihan internal antara Jafar dan peminpin lain, menurunnya dukungan dari militer Indonesia dan merosotnya pendanaan.

Terdapat juga kelompok teroris yang menamakan diri mereka sebagai kelompok Islamis, Jamaah Islamiyah. Didirikan 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sunkar. Jamaah Islamiyah lebih berkonsentrasi pada pendirian negara Islam di Indonesia dan berjuang melawan “musuh-musuh” Islam. Operasinya terjadi pada serangkaian serangan yang terjadi secara bersama-sama di 38 gereja di seluruh Indonesia pada malam Natal tahun 2000 dan aksi pengeboman dua klub malam pada pengunjung di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan banyak korban jiwa. Kelompok tersebut pada hakikatnya telah merugikan negara. Karena setelah peristiwa tersebut, beberapa negara melarang warga negaranya untuk berwisata ke Indonesia.

Dengan demikian, dapat terlihat bagaimana pengaruh berupa pemikiran dan bentuk tindakan fisik yang tercermin dari Timur Tengah ditiru kelompok-kelompok Islamis Indonesia. Namun, dalam transmisinya, bentuk aktivisme dan kelompok-kelompok Islamis yang tercipta di Indonesia tidak sepenuhnya merupakan produk murni dari Timur Tengah. Ide-ide pemikiran dari Timur Tengah juga ditunjang oleh situasi local di Indonesia yang memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok Islamis tersebut membuat agendanya.

Tesis benturan peradaban yang dibahas sebelumnya sangat relevan dengan kenyataan yang ada saat ini tepatnya setelah peristiwa 11 September 2001 berupa pemboman yang dilakukan kelompok Islamis Al-Qaeda terhadap gedung World Trade Center di Amerika Serikat. Konflik yang terjadi setelah itu adalah dikumandangkannya perang global melawan terorisme oleh Barat. Walaupun tidak secara langsung pihak Barat mengindikasikan bahwa perang global melawan terorisme tersebut adalah perang melawan Islam radikal, Barat seakan membuat konspirasi label yang mempersandingkan Islam dan terorisme. Sehingga terbukti bahwa benturan peradaban yang terjadi saat ini adalah mengenai konflik antara Barat dan Muslim.

Pembahasan lain yang memiliki nilai relevansi adalah pendirian Partai Keadilan Sejahtera yang menawarkan konsep pemerintahan yang bersih dan keadilan social. [2]Pasalnya, dalam perjalanan demokratisasi, Indonesia mengalami keterhambatan akibat korupsi dan pemerintahan yang lemah seperti yang dibahas oleh Franz Magnis, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dalam dialog antara Jerman dan Indonesia.

Adapun kelebihan buku Jejak Kafilah ini yaitu dapat menggambarkan gagasan-gagasan tokoh pemikir Timur Tengah dengan metode analisis yang baik. Buku Jejak Kafilah juga mencoba memahami dimensi global tanpa melupakan dimensi local dalam transmisi gagasan-gagasan dari Timur Tengah. Buku ini memiliki kerangka yang menarik yang menghubungkan setiap babnya. Bab 1 dan 2 dijelaskan mengenai berbagai evolusi gagassan-gagasan para tokoh ideology dari Timur Tengah. Dalam bab 3 dikaji penyebab dan media terhadap penyebaran sentralistik dari Timur Tengah ke Indonesia. Dan, bab 4 mencoba menguji dampak gagasan Islamis beserta kelompok-kelompok aktivisme yang terbentuk. Buku lalu ditutup dengan kesimpulan dan implikasi kebijakan yang membuat pembaca semakin memahami secara bulat bobot dari buku ini. Buku ini juga dilengkapi dengan glosarium sebagai pegangan untuk istilah-istilah yang kurang familiar. Buku Jejak Kafilah ini bernilai sejarah, dan dapat juga digunakan sebagai masukan untuk menentukan kebijakan.

Namun, buku ini juga memiliki kekurangan. Pengarang buku Jejak Kafilah memaparkan tulisannya dengan bahasa yang agak rumit. Sehingga pembaca yang awam mengenai transmisi gagasan-gagasan dari Timur Tengah perlu membaca berulang-ulang agar dapat lebih memahami isi dari buku ini. Buku Jejak Kafilah ini juga kurang memberikan sudut pandang perspektif dari pihak muslim, sehingga penulisannya terasa kurang dalam ketika menggambarkan kelompok-kelompok Islamis yang ada di Indonesia.












Daftar Pustaka

1. M. Imdadun Rahmat, “Arus Baru Islam Radikal” , Jakarta : Erlangga, 2005.
2. Koran Kompas, Rabu, 5 Maret 2008, hal 4
[1] M. Imdadun Rahmat, “Arus Baru Islam Radikal” , Jakarta : Erlangga, 2005, hal 69
[2] Koran Kompas, Rabu, 5 Maret 2008, hal 4.